Sepasang Rajawali Putih
Seorang raja yang amat kejam mempunyai putri yang cantik jelita, bernama Putri Sehati. Parasnya cemerlang teduh, bak sinar bulan purnama, Sang putri juga amat baik hati. Raja tidak menginginkan putrinya dipersunting oleh siapapun. Bila ada yang meminang Putri Sehati. Baginda menjadi murka dan dicarinya jalan untuk membunuhnya.
Pada suatu malam sang Putri bermimpi. Ada seorang satria tampan yang turun dari kayangan dengan mengendarai burung rajawali putih. Satria itu diperintahkan oleh para dewa untuk menjemputnya. Dalam mimpi, satria itu mengulurkan tangannya dan bertanya apakah Putri mau bersamanya. Sebelum Putri Sehati menjawab ia sudah terjaga dari tidurnya. Semenjak itu Sang Putri menjadi murung. Wajah satria tampan itu selalu bermain dalam benaknya.
Ketika raja mengetahui akan hal ini beliau amat murka. Diperintahkan para prajuritnya untuk menangkap satria yang menggoda dalam mimpi Putri Sehati. Mereka tidak diperbolehkan pulang sebelum membawa satria itu hidup atau mati. Tentu saja para prajurit itu tidak akan dapat menemukannya karena satria yang mengendarai burung rajawali putih itu hanya ada dalam mimpi.
Bersamaan dengan mimpi sang Putri, seorang satria muda dari kerajaan rajawali juga bermimpi. Satria muda itu bernama Kantaka. Dalam mimpinya ia bertemu dengan seorang putri cantik berada dalam cengkraman ular naga raksasa yang ganas. Lidahnya seperti api menjulur-julur hendak menelan mangsa. Sang Putri tidak berdaya. Ia berkeinginan untuk menolongnya, namun baru saja mengulurkan tangan ia terjaga dari mimpinya. Keesokan harinya Kantaka pergi berkelana mencari tahu di mana sang Putri berada.
Bertahun-tahun telah berlalu, prajurit yang mencari satria mengendarai rajawali putih tak kembali. Sementara Putri Sehati hampir putus asa. Baginda bertambah geram. Ditangkapnya semua pemuda yang tampan di kerajaan itu lalu dipenjarakan. Mereka disiksa agar mau mengaku sebagai satria yang datang dalam mimpi Putri Sehati. Untuk menghindari korban lebih banyak , Putri Sehati selalu menyertai ayahnya dalam penjara dan cepat-cepat mengatakan bahwa pemuda itu bukan pemuda yang dimaksud.
Akhirnya, kabar kekejaman Baginda terdengar pula oleh Kantaka. Segera ia menuju ke sana. Ia ditangkap di perbatasan lalu diserahkan kepada raja. Alangkah terkejutnya Kantaka ketika melihat Putri Sehati, karena itu adalah Putri dalam mimpinya Demikian pula Putri Sehati, ketika melihat Kantaka, ia pun sangat terkejut. Kantata adalah satria yang mengendarai rajawali putih dalam mimpinya.
Tetapi, ketika Baginda menanyakan kepada Kantaka bahwa apakah dia adalah satria yang mengendarai rajawali putih? Kantaka menjawab bukan. Ia datang ke Kerajaan ini dengan maksud melamar sang Putri. Baginda berkata," Anak Muda urungkan niatmu! Engkau terlalu tampan untuk mati muda."
"Saya sudah siap Baginda," jawab Kantaka.
"Apakah engkau tahu akibat dari perkataanmu itu?" tanya Baginda semakin geram. Kantaka hanya mengangguk. Mendengar itu, Putri Sehati. Mendengar itu, Putri Sehati merasa khawatir, maka ia memohon agar Baginda tidak melaksanakan hukuman terhadap Kantaka.
Baginda bertambah murka karena mengetahui putrinya menaruh hati kepada Kantaka. Lalu sabdanya,"Kantaka, aku ingin kau mati perlahan-lahan di hadapan putriku yang cantik ini. Panjatlah pohon Gurda di halaman istana ini!"
Putri Sehati tidak dapat berkata apa-paa. Tubuhnya lunglai, wajahnya pucat pasi. Kantaka berkata, "Jangan khawatir Adinda, kumpulkan tubuhku yang terputus di atas sehelai kain putih, karena air matamu akan menghidupkanku kembali"
Pohon Gurda adalah bukan sembarang pohon. Ia tumbuh di halaman istana sebagai lambang kekejaman. Bentuknya seperti pohon kaktus raksasa, pipih, tajam seperti pedang serta berduri seperti jarum. Pohon ini digunakan untuk menghukum siapa saja yang berani meminang Putri Sehati. Mereka yang memanjat pohon itu, tubuhnya akan putus sedikit demi sedikit dan akhirnya akan jatuh ke tanah dan mati mengerikan.
Hukuman segera di laksanakan. Kantaka mulai memanjat pohon. Putri Sehati menggelarkan selembar cita putih persis di bawah pohon. Pada dahan pertama hingga ketujuh belum ada tubuh yang putus oleh ketajaman dahan gurda, hanya darah yang menetes deras. Selanjutnya mulailah sepotong demi sepotong tubuh Kantaka berjatuhan. Putri Sehati mengumpulkan potongan tubuh Kantaka.
Setelah mencapai puncaknya, tubuh Kantaka jatuh ke bumi menjadi satu dengan tubuh yang lain, dan ajaib, tubuh itu berubah menjadi burung rajawali putih yang gagah. Demikian pula Putri Sehati juga berubah ujud mejadi rajawali putih yang cantik. Lalu, keduanya ke angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayapnya dengan bahagia.
Kesimpulan
Pohon Gurda adalah bukan sembarang pohon. Ia tumbuh di halaman istana sebagai lambang kekejaman. Bentuknya seperti pohon kaktus raksasa, pipih, tajam seperti pedang serta berduri seperti jarum. Pohon ini digunakan untuk menghukum siapa saja yang berani meminang Putri Sehati. Mereka yang memanjat pohon itu, tubuhnya akan putus sedikit demi sedikit dan akhirnya akan jatuh ke tanah dan mati mengerikan.
Hukuman segera di laksanakan. Kantaka mulai memanjat pohon. Putri Sehati menggelarkan selembar cita putih persis di bawah pohon. Pada dahan pertama hingga ketujuh belum ada tubuh yang putus oleh ketajaman dahan gurda, hanya darah yang menetes deras. Selanjutnya mulailah sepotong demi sepotong tubuh Kantaka berjatuhan. Putri Sehati mengumpulkan potongan tubuh Kantaka.
Setelah mencapai puncaknya, tubuh Kantaka jatuh ke bumi menjadi satu dengan tubuh yang lain, dan ajaib, tubuh itu berubah menjadi burung rajawali putih yang gagah. Demikian pula Putri Sehati juga berubah ujud mejadi rajawali putih yang cantik. Lalu, keduanya ke angkasa sambil mengepak-ngepakkan sayapnya dengan bahagia.
Kesimpulan
Penindasan terhadap sesama manusia bagaimanapun kejamnya akan dapat dilawan oleh keinginan untuk merdeka.
Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996