Cerita Pendek, Namanya Massa
INI memang kota Jakarta! di kafe ini, saya ketemu massa, matanya bagus! Tapi, dia tak secantik maminya yang artis terkenal. Papinya sutradara andalam dalam dunia perfilman kita. Massa acuh tak acuh saja, kala Mas Beny, teman sama-sama wartawan mengajaknya ngobrol. Dia minum wiski (seperti minum air putih). Saya mungkin kelewat asyik melihatnya, sehingga Mas Beny berbisik,"Kalau kau sudah lama di Jakarta, ada banyak perempuan, seperti itu.
Barangkali, sulit bagiku untuk menyesuaikan diri dengan watak kota Jakarta. Sejak ditugaskan sebagai wartawan di Jakarta, saya merasa sering sepi dan jenuh dengan pekerjaan yang sudah saya geluti selama tujuh tahun. Dalam malam yang hujannya rintik-rintik ini, di diskotik yang musiknya hingar bingar, saya temukan Massa yang mabuk. Saya antarkan dia sampai ke rumahnya. Saya memotret Massa yang sedang mabuk. Mengapa keinginan itu muncul? Karena, saya lihat anaknya Bony (menurut Mas Beny anaknya di luar nikah dengan salah satu pemain film papinya), yang mungkin baru berumur tiga tahun, biasa-biasa saja, melihat Massa yang sedang mabuk itu.
Saya dan Mas Beny melihat hasil foto Massa yang mabuk. Mas Beny bilang, "Foto ini kelihatannya bisa dijual. Massa kan anaknya orang terkenal. Tanyakan ke redaksi apakah foto ini bisa dimuat di media kita. Kalau tidak, jual saja ke media itu, pasti laku! Karena, ada nilai beritanya."
***
SEBELUM saya beranjak ke ruang redaksi, ada telepon dari Massa. "Ini alamat pengacara orangtuaku, kau kan butuh uang! Apa kau tidak butuh uangku? Lantas, apa kau ingin tidur denganku? Juga tidak! Kalau begitu jelaskan apa maumu, jangan berbelit-belit."
Saya dengar suara Massa menangis, sebelum telepon ini diputusnya. Dan malam itu, saya ke rumahnya menemui Massa. Dia sedang minum wiski (dia minum seperti air putih), "Don, kalau foto ini tidak membahayakan kebahagiaan Boni kelak, saya tidak akan risi, sekalipun foto itu dimuat di media massa. Kau tanyakan siapa bapak Boni, saya sudah lupa. Sekarang saya adalah bapak dan ibunya Boni. Oleh karena itu, saya keras mendidiknya, agar kelak dia jadi laki-laki yang sehat jiwanya."
Saya tahu, malam itu Massa ingin bercerita banyak (istriku tidak mau mengakui kalau saya bisa jadi pendengar yang baik).
"Don kau tanyakan, apakah saya bahagia menjadi anaknya orang terkenal. Entahlah. Yang saya ingat, saya lebih sering di rumah hanya dengan pembantu. Don, waktu itu saya kelas dua SMP. Saya baru saja menceritakan kepada orangtuaku, kalau saya diangkat sebagai ketua rombongan paduan suara sekolah kami yang akan bertanding dengan SMP di luar Jakarta. Kala saya sedang sibuk mengatur ini dan itu, temanku bilang, "Massa, semalam kamu dimana? Kala orangtuamu mengumumkan perceraiannya, kok mau disuruh foto berdua, mesra lagi! Itu akting atau beneran sih?"
"Kamu bohong! Semalam orangtuaku shooting di luar kota. Dan sampai hari ini, mereka masih berada di tempat shooting. Ayahkku punya pengacara yang bisa menuntut orang yang menfitnah."
"Don, seketika dia menyodorkan koran yang memuat perceraian orangtuaku. Yah, bukan hanya satu koran, tapi berpuluh koran. Saya seperti masuk ke sumur tanpa dasar. Sejak itu, saya malu bersekolah. Sekalipun orangtuaku bilang perceraian itu bisa terjadi pada pernikahan siapa pun, bahkan zaman sekarang, raja dan ratu pun bisa bercerai. Keluar dari sekolah dan masih berumur empat belas tahun, saya diterima bekerja sebagai penata lampu di sebuah diskotik. Karena bekerja di sana, saya berkenalan dengan banyak laki-laki. Pengalamanku dengan laki-laki itu, membuat saya cepat mengerti hidup ini. Kau tahu nama-nama ini kan? Mereka cuma bisa omong besar di luar ranjang.
"Saya tahu sekarang pacarmu, ada tiga orang. Mengapa kau tidak menikah dengan salah satu dari mereka? Atau kalau kau mau kan bisa menikah denganku," saya berseloroh.
"Don, saya akan menikah kalau pacarku yang di Jerman sudah selesai sekolahnya. Dia tahu kelahiran Boni. Dia bisa bilang itu kesalahan manusiawiku. Sementara ketiga pacarku itu, sangat saya perlukan. Sebab yang satu bisa jadi Bapak Boni, dia dan Boni saling menyanyangi. Pacarku yang anak konglomerat adalah penyandang danaku. Uang saku dari orangtuaku tidak pernah cukup. Yang mahasiswa itu teman mengasah intelektual, kami cocok di ranjang."
"Kau tanyakan, mengapa saya tidak jadi bintang film saja? Don, saya berbakat menjadi pelukis. Tapi orangtuaku tidak percaya. Cuma eyang yang tahu, waktu saya di Malang, Eyang menyuruhku belajar pada seorang pelukis. Eyang masih menaruh di kamarnya lukisanku waktu kecil. Don, kalau Boni sudah berumur empat tahun, saya akan jual rumah ini untuk biaya hidupku dengan Boni di mancanegara. Saya ingin belajar melukis di sana."
Saya seperti mendengarkan sebuah imajinasi, tapi dongeng memang tidak harus sama dengan realitas ini. Saya lihat mata Massa melihatku lekat-lekat. "Massa, saya kira kau pasti bisa sama besarnya dengan orangtuamu."
***
SUATU kali dengan alasan yang tidak jelass, redaksi marah kepadaku. Dia bilang beritaku kurang konfirmasi sekalipun aktual sehingga tidak layak muat. Dengan kesal saya keluar dari kantor. Di rumahnya, saya lihat Massa asyik nonton film di laser disk. "Kamu ini enak betul. Kalau setiap orang harus stres dalam mencari biaya hidup dan pekerjaannya, jam segini kau sudah bisa berleha-leha."
Massa, menciumku. "Don, cobalah bir kalengan ini, ringan kok. Don, sebagai seorang seniman saya harus mencari pengalaman di mana saja, juga di film ini. Sebelum berkontemplasi. Tapi, kau tidak bisa seenaknya ke rumahku, kalau kelak saya sudah jadi pelukis, waktu itu untukku."
"Saya kepingin punya koran sendiri. Koranku pasti bisa menjawab semua aspirasi masyarakat, karena apresiasi kami yang jujur dan intelek," kataku.
Massa melebarkan matanya yang bagus, "Don, itu sebuah gagasan yang bagus. Sebabnya banyak media massa sekarang, beritanya seragam. Sehingga kita tidak tahu, apakah berita tersebut, dan siapakah sasaran pembacanya."
Untuk pertama kali sejak kami berteman, malam itu kami tidur bersama. Setelah itu, tidak ada lagi percakapan, yang rasanya perlu kami ucapkan.
***
SUATU kali, waktu liburan sekolah, saya minta cuti seminggu. Anakku Bunga dan istri mengajak liburan ke Toraja. Kami sangat menikmati liburan ini. Dan setelah cuti ini habis, dengan sangat malas saya kembali ke Jakarta untuk bekerja. Kala saya sedang mengetik berita, ada telepon dari Massa. "Don, saya perlu kamu. Bisa datang kan? OK, saya tunggu kamu."
Massa memegang tanganku erat sekali. "Massa, ada yang bisa saya bantu?"
Matanya basah. Massa merokok secara beruntun dan minum wiski (saya kira lebih dari kita yang suka minum air putih).
"Don, tadi tanteku telepon dan bilang, Eyang sakit dan ingin sekali ketemu aku. Don, kau tahu kan sejak kelas dua SD sampai tamat SD saya ikut Eyang. Kalau saja mami tidak membawaku kembali ke Jakarta, pasti saya sudah jadi istri dan ibu yang baik seperti cita-cita Eyang. Don, Eyang memang tidak pernah diberitahu kalau saya sudah punya anak Boni. Kalau saya ke Malang tak mungkin meninggalkan Boni dengan susternya di sini. Saya khawatir kalau Eyang sedih, karena saya sekarang punya anak. Sering sekali diceritakan kepada orang yang dikenalnya, bahwa saya akan menjadi ibu dan istri saja. Dan tidak pernah ingin menjadi bintang film."
"Massa pulang sajalah agar baik kau maupun Eyang tidak tambah stres. Saya memang belum mengenal Eyang, tapi saya kira dengan lapang dada beliau akan menerima anakmu."
Massa menghapus air matanya pelan-pelan.
***
SUATU kali saya pulang ke Malang untuk menengok anak dan istriku. Rini istriku yang dokter dan biasanya kelewat sibuk dengan pasien-pasiennya, bilang ingin berbicara denganku. "Don, saya kira kau sudah terlampau jauh dengan Massa. Maksudku kau mulai menyukainya. Kau sekarang bisa memilih salah salah satu diantara kami. Jangan berdalil seperti ini, "Rini, kamu sih tak mau saya ajak pindah ke Jakarta. Padahal kau tahu setiap laki-laki yang sudah berkeluarga, kalau pulang kerja kepingin pulang ke rumah di mana tempatnya yang paling aman itu ada istri dan anaknya. Don, sejak dulu kau tahu saya dosen dan dokter yang tak mudah untuk pindah kerja. Don, kalau kita berpisah saya tak akan meributkan harta bersama. Uangku cukup untuk membesarkan bunga.
Saya kaget mendengarkan omongan Rini. Seharusnya dia tahu tidak ada hubungan khusus antara saya dan Massa. Saya kira kami cuma berteman biasa, dan rasanya memang tidak mungkin untuk membesarkan Bunga bersama Massa. Yah, waktu awal kenalan sudah saya ceritakan tentang Massa pada Rini. Waktu itu istriku cima tersenyum dan bilang," Don jangan sok tahu perasaan Massa. Kamu tidak pernah tahu perasaan perempuan, sekalipun saya sudah lama menjadi istrimu."
"Rini, kamu salah paham dan argumentasimu kali ini lemah..."
Rini melihat saya dengan kemarahan dan keras kepala. "Don, ini bukan forum diskusi, yang saya minta kau cepat menentukan pilihanmu. Buatku, cinta itu tidak bisa dibagi-bagi. Sorry, saya tak bisa lama-lama ngobrol denganmu. Ada pasien penting, Pak Walikota yang harus dicek terus-menerus kesehatannya."
"Rini, kalau begitu kapan kau punya waktu? Agar saya bisa menerangkan persoalan ini."
Rini tidak menjawab. Dengan bergegas dia masuk ke mobilnya.
***
Saya benci sekali dengan sikap Rini kali ini. Sejak awal pernikahan, kita sudah sepakat untuk mendiskusikan secara terbuka yang terasa tidak enak di hati, agar tercapai titik temu di antara kami. Kami juga sepakat untuk bebas berteman dengan siapa saja. Bukankah Rini kelihatan akrab dengan teman sekerjanya, dokter Rudi. Saya tidak pernah marah dia dan Rudi saling menelepon, keluar bersama untuk mengurus pekerjaan mereka. Saya berjalan ke sembarang arah. Tahu-tahu sudah memijat bel rumah eyangnya Massa.
"Don, Suprise sekali kita bisa bertemu di Malang!" kata Massa sambil merangkulku.
Saya lihat Massa, dan juga merasa surprise, di tempat eyangnya, Massa kelihatan polos sekali. Kemudian, dia memperkenalkan saya dengan eyangnya. Seorang perempuan yang tidak kehilangan kehangatannya, sekalipun sakit.
"Gus, jadi kamu temannya Massa di Jakarta. Sekarang kan sama-sama di Malang. Sering-seringlah main ke sini, biar Massa punya teman ngobrol yang sama mudanya. Massa, tadi tamunya sudah dibikinkan air minum? Gus, jangan cepat-cepat pulang, kita makan siang bersama. Eyang kan bisa makan enak, kalau punya teman makan."
Saya memang sering ke sini. Dan merasa diterima dengan hangat di sini daripada di rumah. Sekalipun Rini tidak mengungkit-ungkit hubunganku dengan Massa lagi, tapi sikapnya yang dingin dan formal membuat saya tidak betah.
Kala saya main lagi ke rumah eyangnya Massa, Eyang ingin bicara denganku.
"Gus, saya ini sudah berumur delapan puluh lima tahun, sakit jantung sudah lama sekali. Eyang ingin mati, tapi tak mungkin bisa mati, karena nazarnya Eyang belum terlaksana. Gus, memang banyak sekali cucu-cucu Eyang. Tapi, yang paling menderita itu Massa! Waktu itu, Eyang merasa tidak enak hati dan ingin ke Jakarta saja. Tanpa memberi tahu siapa pun Eyang ke rumah maminya Massa. Yang saya temukan, Massa yang waktu itu berumur enam tahun dihajar oleh pembantunya sampai luka-luka. Langsung hari itu juga, Massa Eyang bawa ke Malang. Maminya, yang anakku itu memang keras kepala, setelah tamat SD dibawanya kembali Massa ke Jakarta. Akibatnya Massa membuat kekeliruan dengan melahirkan Boni. Gus, kalau kau belum punya istri, nikahlah dengan cucuku. Dia adalah perempuan yang baik, percayalah pada Eyang. Tapi jadi pengantinnya di sini saja, agar Eyang bisa membayar nazar."
Setelah Eyang tidur, Massa mengajakku ke beranda. "Don, harusnya secara tegas kau tadi bilang begini kepada Eyang, "Eyang saya sudah punya istri! Saya ingin membesarkan Bunga dengan ibunya, agar jiwanya tidak pecah. Eyang, Massa cantik, pasti banyak yang mau menikah dengannya. Hubungan kami selama ini... cuma teman. Dan belum tentu, Massa mau menikah dengan saya yang cuma wartawan biasa. "Don, saya memang cuma ingin menikah dengan pacarku yang di Jerman. Kisah cinta kita lebih indah daripada sayap-sayap patahnya Khalil Gibran. Karena itu kami akan mengakhiri percintaan kami dengan pernikahan."
Saya rikuh mendengarkan ucapan Massa, bagaimana dia tahu jalan pikiranku. "Massa, kita masih teman kan?"
Massa seperti tidak berada di tempat ini. Dia di dunianya dan enggan berbagi dengan siapapun. Saya merasa tidak bisa ngobrol lagi dengannya. Tiba-tiba seperti ada yang putus...
***
SAYA sedang sibuk mengetik di muka personal komputer ini. Mas Beny dengan tergesa-gesa bilang, "Don, setengah jam yang lampau ayahnya Massa mati terbunuh! Kamu dan saya dapat tugas meliput di sana. Don, kamu kan akrab dengan Massa, koreklah darinya hal-hal yang bisa menarik pembaca. Ayolah, nanti keburu diliput oleh wartawan lain. Ini berita besar! Ayolah Don, tunggu apa lagi."
Saya memasukkan tape ini ke tas. Tiba-tiba saya ingat omongan Rini, juga omongan Massa. "Don, kamu ini penggali berita yang handal. Tapi, kau sekarang tidak peka lagi dengan perasaan manusia yang seharusnya menjadi subyek dari tulisanmu di media massa."
Saya termangu di muka personal komputer ini.
Kompas, 16 Januari 1994
Sumber
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Penulis : Ratna Indraswari Ibrahim
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995)
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995