Pak Molla
Malam itu Pak Molla mendayung perahu kecilnya yang bercadik menuju laut lepas. Ketika berangkat meninggalkan kampung nelayan yang kecil itu, hujan gerimis membasahi tubuhnya. Jangankan hujan gerimis, hujan lebat pun kadang-kadang ia abaikan untuk memperoleh ikan di laut.
Pak Molla adalah seorang nelayan di salah satu pulau di Kepulauan Sapeken. Pulau itu dapat ditempuh dengan berlayar selama lima belas jam dari Pulau Madura. Penghasilannya dari memancing ikan tidak terlalu banyak, hanya cukup untuk belanja sehari-hari.
Setelah perahunya agak jauh dari darat, Pak Molla mulai membuka layar. Angin sepoi-sepoi membawa perahu itu melaju di atas ombak yang tidak terlalu besar. Kemudian, ia melemparkan pancing ke laut. Ia bernyanyi-nyanyi menunggu pancingnya didekati ikan.
Setelah dua jam di laut, beberapa ikan tongkol berhasil ditangkap Pak Molla. Hatinya mulai gembira. Gerimis pun mulai reda.
Pada saat perahunya sedang melaju, tiba-tiba Pak Molla merasakan perahunya menabrak sesuatu. Dalam keadaan gelap, ia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Lalu, ia menghentikan perahunya dan menyelidiki sekitar tempat perahunya menabrak tadi. Setelah mencari ke sana kemari, tiba-tiba ia melihat sebilah papan. Setelah diperhatikan agak cermat, ternyata ada orang memeluk papan itu.
"Pasti awak perahu yang kena musibah di laut," pikir Pak Molla menaikkan orang itu ke perahu. Orang yang ditolong itu hampir tidak punya daya. Pak Molla menanyakan sesuatu kepada orang itu, tetapi ia tak bisa menjawab. Agaknya, ia belum sanggup berbicara karena ingatannya belum pulih benar.
Saat itu juga, Pak Molla memutar haluan menuju kampungnya. Setelah tiba di pantai, ia menambatkan perahunya. Lelaki yang ia tolong itu digendong ke rumah. Pak Molla segera mengganti pakaian orang yang belum diketahui dari mana asalnya itu. Kemudian, orang itu ditidurkan di balai-balai.
Pak Molla segera menyuruh istrinya membuat bubur. Setelah matang, bubur itu disuapkan kepada lelaki yang tidak dikenal itu.
"Meskipun tidak enak. Anda harus berusaha makan agar sehat kembali," kata Pak Molla kepada orang itu.
Lelaki itu mulai membuka mulut. Istri Pak Molla menyuapinya. Setelah kira-kira sepuluh sendok, orang itu menggelengkan kepala. Ia merasa sudah cukup.
Setiap hari lelaki tidak dikenal itu mendapat perawatan dan pelayanan yang memuaskan dari Pak Molla dan istrinya. Bahkan sejak di rumahnya ada lelaki itu, Pak Molla tidak pergi memancing ke laut agar ia bisa memberikan pelayanan dan pengobatan yang baik kepada lelaki malang itu.
Empat hari kemudian, lelaki dari seberang itu sudah mulai duduk. Pak Molla sangat senang karena orang yang ditolongnya punya harapan untuk hidup,
"Saya ingin tahu asal-usul Anda," tanya Pak Molla.
"Saya berasal dari Tanah Bugis, Sulawesi," jawab lelaki itu dengan suara hampir tidak terdengar. Kemudian ia melanjutkan. "Saya seorang awak perahu yang sedang berlayar menuju Pulau Jawa. Setelah beberapa hari berlayar, tiba-tiba perahu saya menabrak batu karang pada malam buta. Perahu itu hancur berkeping-keping. Untunglah, saya dapat berpegangan pada sekeping papan. Saya dihanyutkan arus dan dipermainkan gelombang kesana kemari. Entah beberapa malam saya berada di laut lepas sebelum Bapak menemukan saya."
Setelah mendengarkan pengalaman hidup orang itu. Pak Molla bertanya, "Apa maksud Anda kalau sudah sembuh? Apakah Anda tetap mau berkumpul bersama saya di sini atau Anda ingin kembali ke kampung halaman Anda?"
"Saya ingin sekali pulang," kata laki-laki itu, " saya punya istri dan anak. Mereka tentu sangat mengharapkan kepulangan saya. Saya juga sangat merindukan mereka. Tetapi, apa mungkin saya bisa pulang? Kampung halaman saya sangat jauh dari sini, sehingga saya perlu biaya besar, padahal saya sudah tidak punya apa-apa lagi."
"Tenanglah sahabat," kata Pak Molla sambil memegang pundak lelaki yang mulai meneteskan air mata itu. "Berdoalah kepada Tuhan, agar Anda segera berjumpa dengan anak istri Anda."
Setelah seminggu berada di rumah , Pak Molla, orang yang ditemukan di laut itu sehat kembali. Ia bisa berjalan cepat menuju sumur untuk mandi. Ia sangat berterima kasih atas keikhlasan hati Pak Molla merawatnya sampai ia sehat kembali.
Siang itu, Pak Molla mengajak istrinya ke tepi pantai. Istrinya heran karena hal itu jarang dilakukan Pak Molla. Biasanya Pak Molla mengajak istrinya berjalan-jalan ke pantai pada malam bulan purnama, sambil melihat air laut pasang mengantarkan buih-puih ke pantai.
"Ada apa engkau mengajakku ke pantai pada siang hari seperti ini?" tanya istrinya.
"Ada sesuatu yang perlu kurundingkan denganmu," jawab Pak Molla.
"Kenapa kita tidak berunding di rumah saja?" tanya istrinya.
"Kalau dilakukan di rumah akan terdengar orang yang kita tolong itu. Perundingan ini tidak boleh ia ketahui.
"O, begitu," kata istri Pak Molla. "Ayo katakan segera, aku ingin tahu."
"Begini. Aku akan bertanya kepadamu, bagaimana jika seandainya aku dengan perahuku terdampar di sebuah negeri yang jauh? Kemudian, aku tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos, sedangkan aku sangat rindu padamu."
"Aku dan anakmu pasti akan sedih," jawab istri Pak Molla.
"Kemudian, dalam keadaan susah seperti itu, ada seseorang mengulurkan tangan memberi uang secukupnya kepadaku untuk pulang."
"Engkau akan gembira. Aku dan anakmu akan sangat gembira. Kita sangat berterima kasih kepada orang yang memberimu uang itu," kata istrinya.
"Nah, orang yang sangat memerlukan pertolongan untuk bertemu anak istrinya itu sekarang ada di rumah kita. Betapa gembira anak istrinya kalau ia bisa pulang ke kampungnya," kata Pak Molla.
"Apa yang bisa kita bantu? Kita sendiri tidak punya uang," kata istrinya.
"Asalkan engkau mau menolong, bisa saja ia pulang ke kampungnya. Apakah engkau mau menolongnya?" tanya Pak Molla.
"Mau. Aku akan senang menolongnya," jawab istrinya.
"Kalung yang tergantung di lehermu itu kalau dijual kukira cukup sebagai ongkos pulang ke Tanah Bugis," kata Pak Molla.
"O, ya," ujar istri Pak Molla sambil tersenyum. Kemudian, ia melepaskan kalung itu dari lehernya." Juallah kalung ini, aku akan berbahagia kalau ia bisa berkumpul dengan anak istrinya.
Hari itu juga kalung itu ditawarkan Pak Mola kepada tetangganya. Untunglah kalung emas itu terjual dengan harga yang pantas.
Keesokan harinya, Pak Molla dan istrinya naik perahu mengantarkan orang dari Tanah Bugis itu menuju pelabuhan Sapeken. Di pelabuhan Sapeken ia dilepas, ikut perahu besar menuju ke Surabaya. Dari Surabaya ia akan menumpang perahu ke Makasar, sekarang bernama Ujung Pandang.
Dua tahun telah berlalu, Pak Molla dan istrinya tetap hidup rukun dan damai. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat keluarga itu agak susah. Sejak membantu orang dari Tanah Bugis itu, rezeki Pak Molla makin berkurang. Jika ia pergi memancing, hasilnya sangat sedikit, tidak sampai sepertiga dari pendapatannya dulu.
"Seandainya kalung Ibu tidak dijual untuk menolong orang Bugis itu, kita tidak akan mengalami paceklik seperti ini," kata anak perempuannya yang sudah remaja.
"Sabarlah, Anakku," jawab istri Pak Molla. "sesuatu yang telah disedekahkan kepada orang tak perlu diingat lagi."
"Ibumu melepaskan kalung itu dengan ikhlas," kata Pak Molla kepada anaknya. "Jangan menggagalkan amal baik yang telah kita perbuat dengan menyesalinya seperti itu. Sepantasnya kita berbahagia karena telah mengorbankan sesuatu kepada orang lain."
Pada suatu malam, saat bulan sedang purnama. Pak Molla tidak pergi memancing karena ia ingin bergembira dengan anak istrinya di pantai. Cahaya bulan yang keemasan terpantul di atas permukaan laut.
Ketika Pak Molla sekeluarga sedang duduk bercanda di atas pasir pantai, tiba-tiba datang seseorang sambil berkata, "Saya ingin menjumpai Pak Molla."
"Ya, saya Pak Molla," jawab Pak Molla agak terkejut. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang tidak dikenal itu karena orang itu membelakangi cahaya bulan.
"Saya akan menyampaikan kiriman dari orang yang pernah Bapak tolong di tengah laut," kata orang itu sambil menyerahkan kantong yang tidak jelas isinya. "Uang ini mohon dibelikan kelapa. Hasil panen kelapa itu, untuk biaya hidup Bapak sekeluarga."
Setelah menerima kantong itu, Pak Molla segera membukanya. Terlihat uang logam berkilauan di bawah sorotan cahaya bulan.
"Uang emas! Uang emas!" teriak istri Pak Molla.
Agak lama Pak Molla sekeluarga terpana melihat satu kantong uang emas itu, mereka takjub bercampur gembira. Setelah itu, Pak Molla menoleh untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menyampaikan kiriman itu. Ternyata, orang itu sudah tidak ada di situ. Pak Molla melihat ke sana kemari. Tidak ada orang. Kemudian, Pak Molla dan anak istrinya melihat ke arah laut. Mereka melihat ada orang berjalan di atas permukaan laut menuju arah bulan purnama. Di kejauhan orang itu menoleh dan melambaikan tangan. Sesudah itu, ia tidak tampak lagi.
Beberapa minggu kemudian, Pak Molla telah membeli seribu batang pohon kelapa dan beberapa hektar tanah. Tidak mengherankan kalau Pak Molla kemudian hidup bahagia lahir dan batin.
Kesimpulan
Cerita ini termasuk dongeng. Hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah orang yang ikhlas beramal untuk kemanusiaan pada suatu ketika akan mendapat berkat dari Tuhan.
"Pasti awak perahu yang kena musibah di laut," pikir Pak Molla menaikkan orang itu ke perahu. Orang yang ditolong itu hampir tidak punya daya. Pak Molla menanyakan sesuatu kepada orang itu, tetapi ia tak bisa menjawab. Agaknya, ia belum sanggup berbicara karena ingatannya belum pulih benar.
Saat itu juga, Pak Molla memutar haluan menuju kampungnya. Setelah tiba di pantai, ia menambatkan perahunya. Lelaki yang ia tolong itu digendong ke rumah. Pak Molla segera mengganti pakaian orang yang belum diketahui dari mana asalnya itu. Kemudian, orang itu ditidurkan di balai-balai.
Pak Molla segera menyuruh istrinya membuat bubur. Setelah matang, bubur itu disuapkan kepada lelaki yang tidak dikenal itu.
"Meskipun tidak enak. Anda harus berusaha makan agar sehat kembali," kata Pak Molla kepada orang itu.
Lelaki itu mulai membuka mulut. Istri Pak Molla menyuapinya. Setelah kira-kira sepuluh sendok, orang itu menggelengkan kepala. Ia merasa sudah cukup.
Setiap hari lelaki tidak dikenal itu mendapat perawatan dan pelayanan yang memuaskan dari Pak Molla dan istrinya. Bahkan sejak di rumahnya ada lelaki itu, Pak Molla tidak pergi memancing ke laut agar ia bisa memberikan pelayanan dan pengobatan yang baik kepada lelaki malang itu.
Empat hari kemudian, lelaki dari seberang itu sudah mulai duduk. Pak Molla sangat senang karena orang yang ditolongnya punya harapan untuk hidup,
"Saya ingin tahu asal-usul Anda," tanya Pak Molla.
"Saya berasal dari Tanah Bugis, Sulawesi," jawab lelaki itu dengan suara hampir tidak terdengar. Kemudian ia melanjutkan. "Saya seorang awak perahu yang sedang berlayar menuju Pulau Jawa. Setelah beberapa hari berlayar, tiba-tiba perahu saya menabrak batu karang pada malam buta. Perahu itu hancur berkeping-keping. Untunglah, saya dapat berpegangan pada sekeping papan. Saya dihanyutkan arus dan dipermainkan gelombang kesana kemari. Entah beberapa malam saya berada di laut lepas sebelum Bapak menemukan saya."
Setelah mendengarkan pengalaman hidup orang itu. Pak Molla bertanya, "Apa maksud Anda kalau sudah sembuh? Apakah Anda tetap mau berkumpul bersama saya di sini atau Anda ingin kembali ke kampung halaman Anda?"
"Saya ingin sekali pulang," kata laki-laki itu, " saya punya istri dan anak. Mereka tentu sangat mengharapkan kepulangan saya. Saya juga sangat merindukan mereka. Tetapi, apa mungkin saya bisa pulang? Kampung halaman saya sangat jauh dari sini, sehingga saya perlu biaya besar, padahal saya sudah tidak punya apa-apa lagi."
"Tenanglah sahabat," kata Pak Molla sambil memegang pundak lelaki yang mulai meneteskan air mata itu. "Berdoalah kepada Tuhan, agar Anda segera berjumpa dengan anak istri Anda."
Setelah seminggu berada di rumah , Pak Molla, orang yang ditemukan di laut itu sehat kembali. Ia bisa berjalan cepat menuju sumur untuk mandi. Ia sangat berterima kasih atas keikhlasan hati Pak Molla merawatnya sampai ia sehat kembali.
Siang itu, Pak Molla mengajak istrinya ke tepi pantai. Istrinya heran karena hal itu jarang dilakukan Pak Molla. Biasanya Pak Molla mengajak istrinya berjalan-jalan ke pantai pada malam bulan purnama, sambil melihat air laut pasang mengantarkan buih-puih ke pantai.
"Ada apa engkau mengajakku ke pantai pada siang hari seperti ini?" tanya istrinya.
"Ada sesuatu yang perlu kurundingkan denganmu," jawab Pak Molla.
"Kenapa kita tidak berunding di rumah saja?" tanya istrinya.
"Kalau dilakukan di rumah akan terdengar orang yang kita tolong itu. Perundingan ini tidak boleh ia ketahui.
"O, begitu," kata istri Pak Molla. "Ayo katakan segera, aku ingin tahu."
"Begini. Aku akan bertanya kepadamu, bagaimana jika seandainya aku dengan perahuku terdampar di sebuah negeri yang jauh? Kemudian, aku tidak bisa pulang karena tidak punya ongkos, sedangkan aku sangat rindu padamu."
"Aku dan anakmu pasti akan sedih," jawab istri Pak Molla.
"Kemudian, dalam keadaan susah seperti itu, ada seseorang mengulurkan tangan memberi uang secukupnya kepadaku untuk pulang."
"Engkau akan gembira. Aku dan anakmu akan sangat gembira. Kita sangat berterima kasih kepada orang yang memberimu uang itu," kata istrinya.
"Nah, orang yang sangat memerlukan pertolongan untuk bertemu anak istrinya itu sekarang ada di rumah kita. Betapa gembira anak istrinya kalau ia bisa pulang ke kampungnya," kata Pak Molla.
"Apa yang bisa kita bantu? Kita sendiri tidak punya uang," kata istrinya.
"Asalkan engkau mau menolong, bisa saja ia pulang ke kampungnya. Apakah engkau mau menolongnya?" tanya Pak Molla.
"Mau. Aku akan senang menolongnya," jawab istrinya.
"Kalung yang tergantung di lehermu itu kalau dijual kukira cukup sebagai ongkos pulang ke Tanah Bugis," kata Pak Molla.
"O, ya," ujar istri Pak Molla sambil tersenyum. Kemudian, ia melepaskan kalung itu dari lehernya." Juallah kalung ini, aku akan berbahagia kalau ia bisa berkumpul dengan anak istrinya.
Hari itu juga kalung itu ditawarkan Pak Mola kepada tetangganya. Untunglah kalung emas itu terjual dengan harga yang pantas.
Keesokan harinya, Pak Molla dan istrinya naik perahu mengantarkan orang dari Tanah Bugis itu menuju pelabuhan Sapeken. Di pelabuhan Sapeken ia dilepas, ikut perahu besar menuju ke Surabaya. Dari Surabaya ia akan menumpang perahu ke Makasar, sekarang bernama Ujung Pandang.
Dua tahun telah berlalu, Pak Molla dan istrinya tetap hidup rukun dan damai. Akan tetapi, ada sesuatu yang membuat keluarga itu agak susah. Sejak membantu orang dari Tanah Bugis itu, rezeki Pak Molla makin berkurang. Jika ia pergi memancing, hasilnya sangat sedikit, tidak sampai sepertiga dari pendapatannya dulu.
"Seandainya kalung Ibu tidak dijual untuk menolong orang Bugis itu, kita tidak akan mengalami paceklik seperti ini," kata anak perempuannya yang sudah remaja.
"Sabarlah, Anakku," jawab istri Pak Molla. "sesuatu yang telah disedekahkan kepada orang tak perlu diingat lagi."
"Ibumu melepaskan kalung itu dengan ikhlas," kata Pak Molla kepada anaknya. "Jangan menggagalkan amal baik yang telah kita perbuat dengan menyesalinya seperti itu. Sepantasnya kita berbahagia karena telah mengorbankan sesuatu kepada orang lain."
Pada suatu malam, saat bulan sedang purnama. Pak Molla tidak pergi memancing karena ia ingin bergembira dengan anak istrinya di pantai. Cahaya bulan yang keemasan terpantul di atas permukaan laut.
Ketika Pak Molla sekeluarga sedang duduk bercanda di atas pasir pantai, tiba-tiba datang seseorang sambil berkata, "Saya ingin menjumpai Pak Molla."
"Ya, saya Pak Molla," jawab Pak Molla agak terkejut. Ia tidak bisa melihat dengan jelas wajah orang tidak dikenal itu karena orang itu membelakangi cahaya bulan.
"Saya akan menyampaikan kiriman dari orang yang pernah Bapak tolong di tengah laut," kata orang itu sambil menyerahkan kantong yang tidak jelas isinya. "Uang ini mohon dibelikan kelapa. Hasil panen kelapa itu, untuk biaya hidup Bapak sekeluarga."
Setelah menerima kantong itu, Pak Molla segera membukanya. Terlihat uang logam berkilauan di bawah sorotan cahaya bulan.
"Uang emas! Uang emas!" teriak istri Pak Molla.
Agak lama Pak Molla sekeluarga terpana melihat satu kantong uang emas itu, mereka takjub bercampur gembira. Setelah itu, Pak Molla menoleh untuk mengucapkan terima kasih kepada orang yang menyampaikan kiriman itu. Ternyata, orang itu sudah tidak ada di situ. Pak Molla melihat ke sana kemari. Tidak ada orang. Kemudian, Pak Molla dan anak istrinya melihat ke arah laut. Mereka melihat ada orang berjalan di atas permukaan laut menuju arah bulan purnama. Di kejauhan orang itu menoleh dan melambaikan tangan. Sesudah itu, ia tidak tampak lagi.
Beberapa minggu kemudian, Pak Molla telah membeli seribu batang pohon kelapa dan beberapa hektar tanah. Tidak mengherankan kalau Pak Molla kemudian hidup bahagia lahir dan batin.
Kesimpulan
Cerita ini termasuk dongeng. Hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik dari kisah ini adalah orang yang ikhlas beramal untuk kemanusiaan pada suatu ketika akan mendapat berkat dari Tuhan.
Sumber : Buku Cerita Rakyat Dari Sumatera
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo
Oleh : James Danandjaya
Penerbit : Grasindo