Cerita Pendek 'Ziarah Lebaran'
PADA Lebaran pagi itu, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka makan hidangan khas yang dimasak Eyang Putri. Opor Ayam, sambal goreng ati, dendeng ragi, dan lontong, beserta bubuk kedelai. Mereka makan dengan lahap karena masakan Eyang memang selalu enak. Yusuf selalu senang setiap kali dia datang menginap di rumah mertua perempuannya itu. Selain dia senang dapat melepas rindunya kepada Eko, anak tunggalnya., dia juga senang senang merasa ikut dimanja dengan berbagai hidangan dan penganan oleh mertuanya. Kenapa tidak, desah Yusuf. Sejak Siti, istrinya, dan jauh sebelumnya mertua laki-lakinya meninggal, apalah kesibukan dan perhatian ibu tua itu selain tertumpu kepada cucu tunggal dan menantu yang menduda itu.
"Eko mau paha sepotong lagi? Dan kau Sup, sambel goreng dan dendeng ragi lagi?"
"Tentu, Yang, pahanya satu lagi. Eko kan sukanya paha."
Yusuf melihat anaknya menyergap paha ayam yang ditawarkan eyangnya. Karena sergapan itu, kuah opor muncrat kesana kemari. Kalau Siti masih ada, pikirnya, pasti akan ditegurnya anaknya itu. Tetapi Eyang Putri...
"Sudah Bu. Sudah cukup saya. Semuanya seperti biasa enak. Nuwun, Bu."
"Lho, kok sudah, Sup. Tumben."
Sambil menggelengkan kepalanya Yusuf berpikir apakah betul dia menolak itu karena sudah kenyang, atau karena beban pikiran lain. Segera saja dia memutuskan pasti karena beban pikiran lain.
"Tentu, Yang, pahanya satu lagi. Eko kan sukanya paha."
Yusuf melihat anaknya menyergap paha ayam yang ditawarkan eyangnya. Karena sergapan itu, kuah opor muncrat kesana kemari. Kalau Siti masih ada, pikirnya, pasti akan ditegurnya anaknya itu. Tetapi Eyang Putri...
"Sudah Bu. Sudah cukup saya. Semuanya seperti biasa enak. Nuwun, Bu."
"Lho, kok sudah, Sup. Tumben."
Sambil menggelengkan kepalanya Yusuf berpikir apakah betul dia menolak itu karena sudah kenyang, atau karena beban pikiran lain. Segera saja dia memutuskan pasti karena beban pikiran lain.
***
MULA-MULA, waktu keberaniannya sudah terkumpul dan dengus hawa hidungnya sudah terasa panas, begitu saja Yati, teman sejawatnya itu diciumnya. Waktu dilihatnya Yati tidak melawan dan hanya memejamkan matanya Yusuf menjadi lebih berani lagi. Diciumnya berkali-kali mulut dan pipi gadis itu. Naluri atau nafsu laki-laki yang sudah menduda tiga tahun itu, agaknya, sudah tidak dapat ditahan-tahan lagi. Dan sejak itu mereka semakin sering bertemu, berkencan melihat film, makan direstoran, bahkan sekali dua kali menginap di hotel.
"Yat, kau suka anak kecil nggak?"
"Tergantung anaknya bagaimana dan anak siapa."
"Wah"
Pelan-pelan, bertahap, Yusuf menyatakan cintanya kepada Yati. Diyakinkannya perempuan itu bahwa dia tidak mau hit and run dalam hubungan cinta mereka. Dia ingin mengawini Yati. Dia ingin Yati menjadi ibu Eko. Dan waktu Yati akhirnya menjawab: mau, mau,.... Yusuf memutuskan untuk mengakhiri masa dudanya dan menggendong kembali Eko ke rumahnya.
***
ACARA lebaran selalu sama. Sembahyang Ied di lapangan kompleks perumahan, sungkem bermaaf-maafan dengan Eyang Putri, makan pagi, ziarah ke makam ayah mertuanya dan makam Siti. Ziarah ke makam orangtuanya sendiri nyaris hanya sekali-kali dilakukan. Kenapa ya, pikirnya. Mungkin karena orangtuanya sudah lama meninggal, mungkin karena adik-adiknya (sembari mengumpatnya) yang selalu menziarahi dan mengurus makam-makam itu. Atau karena makam Siti, istrinya yang cantik berambut panjang sekali itu, lebih mengikatnya untuk menziarahi. Atau karena Eko yang diasuh ibu mertuanya? Melepas rindu kepada anak tunggal, yang hanya sempat dikunjungi setahun sekali lewat perjalanan kereta api yang melelahkan dan untel-untelan, bukankah juga sangat, sangat penting.
"Wah, setiap tahun kok semakin banyak saja kere-kere berderet di kuburan," gumam ibu mertuanya.
Di dalam hati Yusuf mengiyakan pernyataan itu. Kok di kota sekecil itu kere-kere bertambah, pikirnya. Mau dientaskan bagaimana itu, gumamnya.
"Kok kere-kere yang di makam semuanya cacat, Yang?"
Yusuf tersenyum bangga. Pikirnya, anaknya untuk usianya sangat tajam pengamatannya.
"Kalau tidak cacat tentu mereka bisa bekerja, tidak mengemis, Ko."
Di makam Siti mereka mencabuti rumput-rumput yang di sana-sini tumbuh. Lantas mereka menabur bunga. Kemudian Eko mengambil alih upacara.
"Karena Eko sudah biasa Al-Fatihah, Eko akan berdoa keras, Eyang Putri dan Bapak mengikuti."
"Boleh, boleh, Ko."
"Iyo, Le."
Dan dengan lancar Eko, mungkin setengah pamer, mengucapkan Al-Fatihah diikuti Eyang Putri dan ayahnya. Sehabis itu Eko merangkul Eyang Putrinya dan Eyang Putrinya pun menciumi pipi cucunya. Sekali lagi Yusuf merasa bangga dan sadar juga bahwa anaknya memang sudah lebih besar daripada setahun yang lalu. Kemudian tanpa disangka Eko sambil menekuri makam ibunya berkata kepada makam ibunya.
"Ibu di sorga. Ini Eko, Bu. Eko sudah gede, Bu. Eko sekarang bisa jaga Eyang Putri di sini, Bu. Bapak jaga Eyang Putri dan Eko dari Jakarta, Bu. Oh, ya, Bapak bawa oleh-oleh mainan Nitendo. Baguus sekali, Bu..."
Yusuf bangkit dari jongkoknya. Rasanya tulang-tulangnya lebih ngilu. Dipandangnya anaknya yang masih jongkok dan masih juga terus dielus-elus kepalanya oleh neneknya yang nampak terisak-isak menangis.
***
DALAM perjalanan pulang ke Jakarta, di kereta api yang penuh sesak orang-orang yang baru pulang dari mudik, Yusuf mendesah. Udara pengap, gerah, keringat di tubuhnya terasa lengket. Bau apak dan penguk lagi. Mungkin tahun depan, pada Lebaran lagi, dia akan lebih punya nyali, punya keberanian yang lebih mantap lagi untuk mengemukakan itu semua kepada ibu mertuanya, kepada Eko. Bahwa dia akan mengawini Yati, bahwa dia akan menggendong Eko ke Jakarta. Ya, tahun depan. Pasti, tekadnya.
Waktu dia menatap jendela kereta, dia berharap dapat menatap senyum Yati sekilas-sekilas yang dia harap juga akan merangsang berahinya. Tetapi tidak. Yang terlihat sawah-sawah kebanjiran, jembatan-jembatan putus, dan jalan-jalan yang semerawut oleh bus dan mobil.
Kompas, 20 Maret 1994
Sumber
Penulis : Umar Kayam
Penulis : Umar Kayam
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995)
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995