Cerita Pendek "Yang Tersisa"

cerita pendek yang tersisa
TOHIR mau kemana setiap sore ngeluyur melulu?" 

"Ah 'Mak biasa jalan-jalan sore, bosan di rumah.!" 

"Kamu selalu jawab semaumu begitu, sekali-kali jaga adik-adik di rumah! lihat si Malik, Minah, Tumin masih kecil-kecil, ajarin pekerjaan sekolahnya... Kamu kan kakaknya! Tohir! Balik sini!" teriak Mak Suminah sampai serak.

Tohir tidak peduli, ia susuri gang demi gang sambil kadang-kadang membetulkan model rambutnya yang mulai gondrong.

"Saya capai dan gerah selalu ngurusin orang lain, nggak pernah kesampaian mau bergaul dengan teman, nikmati penghasilan sendiri tanpa dibagi-bagikan sama adik-adik, 'Mak, dan saudara-saudara lainnya. Urus si Lik, nungguin di WC umum sampai enek...Urus seluruh dunia! saya nekat mau pelit dan tidak akan peduli pada siapa pun mulai hari ini!" jerit Tohir di dalam hatinya. 

  ***
BANGUN pagi hari Tohir langsung mandi ke ujung gang, tempat pemandian umum. Buru-buru ia berpakaian dan langsung meninggalkan rumah tanpa basa-basi. Hitungan hari kedua, hari kebebasan untuk dirinya. Bebas tugas dari beban keluarga. Bekerja di sebuah percetakan sebagai tukang sapu merangkap kebersihan segala macam, office boy kerennya, dijalaninya sudah hampir tiga tahun. Satu hari mendapat uang makan sejumlah Rp 1.500 dan gaji bulanan sebanyak Rp 45.000, merupakan kenikmatan tersendiri baginya. Karena sebelum ia mendapat pekerjaan tetap, sudah beberapa kali ia berpindah-pindah kerja, menjadi kondektur, calo muatan, juga tukang parkir liar di pojok Matraman. Dan terahir ia diajak kawannya melamar ke kawasan industri, langsung gol dan cocok.

"Hir' Tohir ada yang nyari di depan!"

Dengan segan Tohir mendatangi gardu satpan dan menemukan Malik adiknya.

"Mau apa kamu ke sini! Sana pulang aku lagi kerja nanti dipecat ngobrol-ngobrol nggak keruan begini, pergi pulang!" usir Tohir ketus.

"Bang... Mak cariian, kok pagi nggak pamit, nggak ninggalin duit lagi...? Jadi kita di rumah nggak ada yang dimasak..."

"Duit! Saya nggak ada duit, tongpes... seluruh dunia sudah tahu aku lagi bokek, sana pergi!"

"Jadi bilang apa sama 'Mak, saya takut pulang, 'Mak tadi nangis kesal katanya Abang sudah dua hari ini nggak ngomong di rumah...., jawab Malik agak gemetaran.

"Mau ketawa, nangis, mau pergi, makan, tidur, jalan-jalan sore, itu urusan saya sendiri! saya capai ngeladeni kalian semua, Lik kamu juga sudah besar bisa bantu kita semua. Jangan saya melulu yang mesti mikirin makan kalian, baju si Minah, pekerjaan rumah si Tumin, uang sekolah kalian. Bangkrut! Untuk saya sisa apa, kamu kerja dong! Mikirin pingin sekolah ini itu, duit dari mana, cari duit mulai hari ini, aku nggak akan bantu lagi! Ingat ya Lik, saya sudah hampir sepuluh tahun ngurusin kalian yang manja-manja ini! Ah... sebodo kamu bilang apa di rumah!"
Malik sendiri bengong kebingungan.

***
HARI berganti, bulan pun bertambah. Tahun silih berlalu. Tohir masih kerja rutin di percetakan. Ia sudah berkeluarga dan mempunyai dua orang anak. Menengok Ibu dan adik-adiknya tidak pernah sekali pun disempatkannya. Mak pun makin tua, mulai sakit-sakitan, ketiga adiknya mulai kocar-kacir tak terurus. Malik telah lama berhenti sekolah dan sudah bekerja sebagai pembantu di sebuah kios kecil Slipi menjual barang kelontong, peralatan rumah tangga. 

Keluarga kecil milik mereka sudah tidak utuh lagi. Walaupun tekad, impian maupun amanat suami Mak Suminah untuk tetap bersama dalam suka maupun susah, ternyata tidak tercapai. 

Tersisa kini sebuah rumah petak kusam berisikan beberapa manusia yang rapuh kehilangan semangat. 
***

"HIR... cepat bawa ini ke gudang, sebentar lagi ada pemeriksaan, kamu mulai malas kerjanya, mau saya laporin ya!" bentak Mandor Komar. 

"Jangan gitu Bos, saya selalu kerja rapi..." 

"Rapih apa, datang sering kesiangan, Izinmu sudah hampir satu minggu kalau dihitung-hitung, kerja nggak benar! Cari kerja tempat lain kalau malas... Kita nggak terima orang-orang yang loyo di sini!

"Bukan begitu Bos... saya belakangan ini kurang tidur, mana istri sakit-sakitan, mesti urus dua anak yang masih kecil-kecil . Kami masih numpang sama Agus warteg pojok sana. Mesti sering nemanin dia main kartu, begadang, namanya orang nebeng..." 

"Brengsek kamu Hir! Kerja sudah nggak becus dan ngaco! Saya masih kasih kesempatan satu bulan ini, kalau masih tidak disiplin langsung saya serahkan laporan harianmu ke personalia lantai empat, ngerti!" 

Mandor Komar pergi dengan geram.
***

"LIK... Malik cari Tohir, 'Mak kangen, bagaimana keadaannya...," jerit pilu Mak Suminah.

"Mak.. Bang Tohir sehat walafiat, nggak usah dipikirin. Sekarang kan Malik dan adik-adik yang ngurus 'Mak."

"Sudah lama 'Mak nggak ketemu, mungkin dia sakit Lik." 

"Mak saya sudah bilang... nggak ada yang sakit, nggak ada yang susah. Malah sekarang yang kurang sehat itu 'Mak dan kita semua perhatiin... Biar saja kalau Bang Tohir nggak sempat, mungkin dia sibuk, bisa saja dia lembur setiap malam, atau dia kerja keras cari duit untuk kita semua... Saya kan sudah bisa urus adik-adik...," jawab Malik menyenangkan hati ibunya.

"Tapi kamu cari kabar... kali-kali dia sakit... 'Mak kasihan kalau mesti nyusahin orang lain, dia masih saudara kamu, bagaimana kalau ada apa-apa, kita tidak diberi kabar ... Aduh... Tohir, di mana kamu Nak...,"Mak Suminah pun menangis.

'Mak..., nggak usah pikirin, Bang Tohir. Besok-besok juga balik pulang... Bawa uang, ketemu 'Mak, beri oleh-oleh banyak untuk Minah dan Tumin. Semua yang dia lakukan selama ini untuk kebaikan kita bersama... jangan diingat-ingat, nanti dia malah nggak benar kerjanya, gelisah...," Malik berusaha membujuk ibunya.

"Kenapa dia nggak pamit, marah sama 'Mak barangkali. Sudah hampir tiga tahun tidak ada kabarnya. Dia dari dulu ngurusi kita semua. Mungkin Mak salah, maksa dia berhenti sekolah untuk cari uang... Hir....," Mak merintih sedih.

"Kalau 'Mak begini terus saya dan adik-adik sedih, kita semua jadi sakit. Biarkan Bang Tohir menentukan apa maunya. Dia bilang mau hidup sendiri, nikmati hasil keringatnya, mungkin dia sudah berkeluarga, tidak peduli kita lagi... dia capai urus saya, Minah... Min..., biarin dia pergi, saya nggak mau bebani dia lagi, saya juga laki-laki bisa bantu 'Mak dan dan adik, biarkan Bang Tohir puasin dirinya, kita nggak perlu maksa untuk ingat rumah ini! Saya bisa 'Mak, saya anak 'Mak juga dan tidak akan meninggalkan 'Mak sampai kapan pun....," Malik mulai emosi.

Minah dan Tumin ikut duduk dekat ibunya yang terlentang beralas sehelai tikar, terisak bareng. Malik berdiri membenahi seadanya rongsokan nggak karuan pojok bilik mereka. Dia segan memperlihatkan air matanya yang sudah menetes.

Mak Suminah bingung mendengar keluhan Malik begitu bertubi-tubi. Kepalanya sakit dan jantungnya berdebar-debar.

"Maksud kamu apa Lik? Tohir ke mana? Ada apa sebenarnya kakakmu itu... Jangan bohong Lik..."

Perlahan-lahan Malik bersimpuh balik dekat ibunya, digenggam erat tangan ibunya, ditatapnya wajah tua tak karuan dan...

"Maaf... saya berbohong demi kebaikan kita semua, keluarga kecil ini. Bang Tohir sudah nggak mau ngurus kita semua. Dia mau bebas, dia bosan jadi orang miskin, dia punya pekerjaan dan ingin memilikinya sendiri... Tetapi nggak perlu rusuh, Bang Tohir pasti baik-baik saja. Biarlah begitu, dia sudah punya keluarga, tentu sekarang lebih mementingkan anak dan istrinya. Biarinlah! Kalau 'Mak sehat dan tabah kami semua senang."

"Tohir punya anak? Kapan Lik... kenapa nggak dibawa ke sini... Ada apa Lik.... Lik...," Mak Suminah bukannya kalem, malah makin nggak karuan, meraung-raung.

***

SUASANA rumah Malik makin memprihatinkan, Mak Suminah semakin parah sakitnya, dirawat seadanya. Minah juga mulai aneh, jarang bicara, melamun sepanjang hari. Tumin, apalagi malah menjadi berandalan di daerah mereka. Malik mulai panik, berusaha menghubungi Tohir.

Tetapi, selalu sia-sia, Tohir selalu menghindar dengan berbagai alasan. Hanya pesan lewat satpam, bahwa ia tidak punya uang. Malik mulai kalut, ia marah, karena kakaknya selalu curiga kedatangannya hanya untuk minta uang.

Malik mulai tidak konsentrasi dalam pekerjaannya lagi. Ia letih harus tampil tampak sebagai pahlawan di mata keluarga. Ia menjadi bimbang.

"Payah! Saya mulai nggak berguna di keluarga sendiri. Bos marah-marah, pikiran kalut begini, berantakan hidup ini, semua penuh perhitungan. Tohir main hitung-hitungan balas budi, mana si Min jadi preman, gila! Minah nggak waras bisanya bengong, Mak makin tua, ingatnya Tohir melulu! Tahun ke tahun tidak ada perubahan, saya kerja selama ini untuk keluarga tidak dianggap, saya ini apa!" keluh Malik blak-blakan dengan rekan kerjanya Sudin di sebuah warung.

Sudin hanya dapat diam, sambil pura-pura mengerti, mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bosan terlalu sering mendengar keluhan Malik.

"Lik... gini aja, daripada kamu ngomel-ngomel, mana duitmu pas-pasan ... Kerja dari pagi sampai malam, ngurus ibumu yang tua, urus adik-adik. Bagaimana kalau kamu juga cabut...! Pergi aja jauh, hidup sendiri, ngurus diri sendiri, kamu bisa puas beli apa saja. Sepertinya sekarang juga kamu harus ambil sikap... jangan kayak banci... mau ini itu takut!" nasihat santai dari mulut Sudin.

"Edan kamu!" teriak malik sambil menonjok muka Sudin. Orang-orang di warung lari kocar-kacir, menyelamatkan diri, karena perkelahian Malik dan Sudin tampak serius.

***

MEMANG segalanya berakhir tidak menggembirakan. Malik ditahan di sel polisi, karena tuntutan pemilik warung dan lagi pula Malik melukai Sudin sampai masuk rumah sakit, tampaknya parah dan mungkin tak tertolong lagi. 

Mak Suminah kehilangan seluruh anak-anaknya, yang semestinya merawat dan melindunginya. Keluarga Suminah berantakan, Tohir masih menjadi anak durhaka, Tumin lebih-lebih lagi bergabung preman kondang menguasai beberapa gang kumuh daerah rawan dan Minah satu-satunya anak perempuan pergi begitu saja bergabung dengan teman-teman seusianya dengan maksud mencari kerja, meninggalkan ibunya. 

***

MAK Suminah kini sendiri, ia bertahan hidup, walau dari belas kasihan para tetangga yang juga hampir serupa nasibnya. 

"Saya masih ingin hidup lama... Kalau Tuhan memberi kesempatan anak-anak untuk kembali.... entah apa saya bisa menerima mereka, entah... apa masih bisa mengenali mereka... entah... masih adakah kekuatan saya menjadi seorang ibu bagi empat orang anak....," pikir Mak Suminah terus sepanjang malam, sepanjang hari bertahun-tahun.

Jakarta, Desember 1993
 Kompas, 13 Februari 1994

Sumber
Penulis : Rayni N. Massardi
Buku Laki-laki yang Kawin Dengan Peri ( Cerita Pilihan "Kompas" 1995) 
Penerbit. PT. Kompas Media Nusantara, Juni 1995
Next Post Previous Post