Cerita Rakyat Propinsi Kalimantan Timur, Asal Mula Erau
Tenggarong adalah ibukota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Indonesia. Pada mulanya, kota Tenggarong merupakan ibukota kesultanan Kutai Kartanegara bernama Tepian Pandan. Namun oleh Sultan Kutai, Aji Muhammad Muslihudin (Aji Imbut), nama Tepian Pandan diubah menjadi Tangga Arung yang berarti rumah Raja. Kemudian dalam perkembangannya, Tangga Arung lebih populer dengan sebutan Tenggarong sampai saat ini.
Di daerah ini telah berkembang sebuah cerita legenda yang sangat populer yaitu Asal Mula Erau. Cerita legenda ini mengambil latar belakang Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura (Abad ke-13 M) yang berdiri di Tepian Batu. Cerita legenda ini terpusat pada salah seorang laki-laki bernama Aji Batara Agung Dewa Sakti, seorang dari keturunan Dewa yang memiliki wajah sangat tampan, sehat, dan cerdas. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan suku bangsa Tenggarong Kutai. Sebagai keturuna Dewa. Ia tidak boleh diperlakukan seperti halnya seorang manusia biasa. Oleh karena itu, sejak kecil ia dirawat dan dibesarkan dengan baik dan hati-hati oleh keluarga petinggi Dusun Jaitan Layar. Pada waktu-waktu tertentu, keluarga Petinggi Dusun Jaitan Layar harus mengadakan upacara adat untuk Aji Batara Agung Dewa Sakti yang dikenal dengan Erau.
Alkisah, di lereng sebuah gunung daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum di karuniai seorang anak pun. Namun demikian, suami istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewa agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. "Pak coba lihat apa yang terjadi di luar," kata sang istri.
Dengan memberanikan diri, Petinggi Dusun Jaitan Layar itu keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata," Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa." Kemudian Dewa itu, berpesan kepada Petinggi Dusun Jaitan Layar, "Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan."
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi,"Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi disungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah."
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa,"Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,"kata sang Petinggi sambil menyembah. Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapapun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apalagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan,"Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagad sebanyak sepuluh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah. Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi di Tepian. Upacara Erau berlangsung sangatmeriah selama empat puluh hari empat puluh malam sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembelih bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala- kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, Lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberikan pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagad.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata,"Tiada siapapun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari Batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-hari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agung Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari khayangan. Awalnya, ia adalah ulat yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang putri berkata "Ayah dan Bunda tidak usah takut pada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah". Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada istrinya, Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi sibuk membuat tangga dari kayu. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang putri yang menemuinya dalam mimpi. "Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda kemana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menabur ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku". Sang naga pun kemudian menuruni tangga, dan merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena di tumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu."Lihat Pak! sepertinya benda itu seorang bayi," seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Alkisah, di lereng sebuah gunung daerah Kalimantan Timur terdapat sebuah dusun bernama Jaitan Layar. Di dusun itu tinggal seorang Petinggi bersama istrinya. Meski sudah menikah puluhan tahun, mereka belum di karuniai seorang anak pun. Namun demikian, suami istri itu tak pernah putus asa. Mereka senantiasa pergi bertapa, menjauhi kerabat dan rakyatnya untuk memohon pada Dewa agar diberi keturunan.
Pada suatu malam, ketika mereka sedang tertidur nyenyak, tiba-tiba dikejutkan oleh suara gemuruh di halaman rumahnya. Malam yang semula gelap gulita tiba-tiba berubah menjadi terang benderang, kejadian itu membuat mereka sangat heran. "Pak coba lihat apa yang terjadi di luar," kata sang istri.
Dengan memberanikan diri, Petinggi Dusun Jaitan Layar itu keluar dari rumahnya. Ia sangat terkejut melihat sebuah batu raga mas berada di halaman rumahnya. Di dalamnya terbaring seorang bayi laki-laki yang masih merah berselimutkan kain berwarna emas. Tangan kanan bayi itu menggenggam sebutir telur ayam dan tangan kirinya memegang sebilah keris emas.
Petinggi Dusun itu semakin terkejut ketika tiba-tiba di hadapannya berdiri tujuh dewa. Satu dari tujuh dewa itu berkata," Berterima kasihlah kamu, karena doamu telah dikabulkan oleh para Dewa." Kemudian Dewa itu, berpesan kepada Petinggi Dusun Jaitan Layar, "Ketahuilah bayi ini keturunan para Dewa di Kahyangan. Oleh karena itu kamu tidak boleh menyia-nyiakannya. Cara merawatnya berbeda dengan merawat anak manusia. Bayi ini tidak boleh diletakkan sembarangan di atas tikar, akan tetapi selama empat puluh hari empat puluh malam harus dipangku secara bergantian oleh kaum kerabat sang Petinggi. Jika kamu ingin memandikan bayi ini, jangan menggunakan air biasa, tetapi harus dengan air yang diberi bunga-bungaan."
Dewa itu juga berpesan kepada sang Petinggi,"Jika bayi ini sudah besar tidak boleh menginjak tanah sebelum diadakan Erau. Pada upacara Tijak Tanah (Menginjak Tanah), kaki anak ini harus diinjakkan pada kepala manusia yang masih hidup dan kepala manusia yang sudah mati. Selain itu, kaki anak ini juga harus diinjakkan pada kepala kerbau yang masih hidup dan kepala kerbau yang sudah mati. Begitu pula jika anakmu hendak mandi disungai untuk pertama kali, hendaknya kau harus mengadakan Erau Mandi ke Tepian sebagaimana pada upacara Tijak Tanah."
Bukan main senangnya Petinggi Jaitan Layar mendapatkan anak keturunan para Dewa,"Terima kasih Dewa. Semua perintah Dewa akan hamba laksanakan,"kata sang Petinggi sambil menyembah. Saat itu pula, tiba-tiba ketujuh Dewa tersebut menghilang dari hadapan sang Petinggi. Bayi itu pun segera dibawa oleh sang Petinggi masuk ke dalam rumah. Lalu, sang Petinggi menceritakan kejadian yang baru saja ia alami kepada istrinya. Bukan main senangnya istri sang Petinggi mendengar cerita suaminya, apalagi setelah ia melihat bayi itu. Ia bagaikan bulan purnama, wajahnya tampan tiada banding, tubuhnya sehat dan segar, siapapun memandangnya akan bangkit kasih sayang terhadapnya.
Beberapa saat kemudian bayi itu tiba-tiba menangis. Sepertinya bayi itu sedang kelaparan. Sang Petinggi pun menjadi bingung, karena payudara istrinya tidak dapat mengeluarkan air susu. Apalagi yang bisa diharapkan dari seorang perempuan tua seperti istrinya untuk menyusui seorang anak. Akhirnya, sang Petinggi membakar dupa dan setanggi. Lalu, sambil menghambur beras kuning, ia memanjatkan doa kepada para Dewa agar memberikan karunia kepada istrinya berupa air susu yang harum baunya. Tak lama setelah berdoa, terdengarlah suara dari Kahyangan,"Hai Nyai Jaitan Layar, usap-usaplah payudaramu dengan tangan berulang-ulang sampai terpancar air susu darinya."
Mendengar perintah itu, istri Petinggi Jaitan Layar segera mengusap payudaranya sebelah kanan sebanyak tiga kali. Tiba-tiba, mencuratlah dengan derasnya air susu dari payudaranya yang sangat harum baunya seperti bau ambar dan kasturi. Bayi itupun mulai menyusu pada istri Petinggi. Kedua suami istri itu sangat bahagia melihat bayi keturunan Dewa telah mendapatkan air susu.
Setiap hari, sang Petinggi dan istrinya merawat anak mereka dengan baik. Sesuai perintah Dewa, mereka senantiasa memandikan bayi itu dengan air yang diberi bunga-bungaan. Tiga hari tiga malam kemudian, putuslah tali pusar bayi itu. Seluruh penduduk Jaitan Layar bergembira. Mereka merayakannya dengan menembakkan Meriam Sapu Jagad sebanyak sepuluh kali. Empat puluh hari empat puluh malam bayi itu dipangku penduduk secara bergantian dan berhati-hati. Sesuai petunjuk Dewa dalam mimpi Petinggi, bayi laki-laki itu diberi nama Aji Batara Agung Dewa Sakti.
Waktu terus berlalu. Kini Aji Batara Agung Dewa Sakti telah berumur lima tahun. Anak seusia Aji tentu sangat ingin bermain di luar rumah bersama teman-teman sebayanya. Ia juga ingin mandi di sungai seperti anak-anak lain. Ia sudah sangat bosan dan jenuh dikurung di dalam rumah. Sang Petinggi teringat dengan pesan Dewa ketika menerima anak itu. Maka ia dan istrinya bersama seluruh penduduk Jaitan Layar mempersiapkan Erau. Dalam pesta Erau itu digelar upacara Tijak Tanah dan Mandi di Tepian. Upacara Erau berlangsung sangatmeriah selama empat puluh hari empat puluh malam sesuai petunjuk Dewa, Petinggi menyembelih bermacam-macam binatang dan beberapa orang untuk diinjak kepalanya oleh Aji Batara Agung pada upacara Tijak Tanah.
Dalam upacara Tijak Tanah dan Mandi ke Tepian, Aji Batara Agung diarak dan kemudian kakinya dipijakkan pada kepala- kepala binatang dan manusia yang telah diselimuti kain kuning. Kemudian Aji Batara Agung diselimuti dengan kain kuning, Lalu diarak ke tepian sungai. Di tepi sungai, Aji Batara Agung dimandikan, kakinya dipijakkan pada besi dan batu. Semua penduduk Jaitan Layar kemudian turut mandi, baik wanita maupun pria, baik orang tua maupun orang muda. Setelah selesai upacara mandi, maka khalayak mengarak kembali Aji Batara Agung ke rumah orang tuanya, lalu memberikan pakaian kebesaran. Setelah itu mereka mengarak kembali Aji Batara Agung ke halaman dengan dilindungi payung agung, diiringi dengan lagu gamelan Gajah Perwata dan bunyi meriam Sapu Jagad.
Sesaat kemudian, tiba-tiba dentuman suara guntur yang sangat dahsyat menggoncang bumi disertai dengan hujan panas turun merintik. Kejadian itu tidak berlangsung lama. Cahaya cerah kembali menerangi alam, awan di langit bergulung-gulung seakan-akan memayungi penduduk yang sedang mengadakan upacara di bumi. Penduduk Jaitan Layar kemudian menghamparkan permadani dan kasur agung, lalu membaringkan Aji Batara Agung di atasnya. Gigi Aji Batara Agung pun diasah kemudian diberi makan sirih.
Selesai upacara tersebut, pesta Erau pun dimulai. Berbagai makanan dan minuman disediakan untuk penduduk. Bermacam-macam permainan dipertunjukkan. Laki-laki dan perempuan menari silih berganti. Juga tidak ketinggalan diadakan adu binatang. Keramaian ini berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dengan tidak putus-putusnya. Setelah pesta Erau selesai, semua bekas balai-balai yang digunakan dalam pesta ini dibagikan oleh Petinggi kepada penduduk yang melarat. Demikian pula, semua hiasan-hiasan rumah oleh istri Petinggi diberikan kepada penduduk.
Para undangan dari berbagai negeri dan dusun, berpamitan kepada Petinggi dan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Mereka memuji-muji Aji Batara Agung dengan berkata,"Tiada siapapun yang dapat menyamainya, baik rupanya yang tampan maupun sikapnya yang berwibawa. Patutlah dia anak dari Batara Dewa-Dewa di khayangan." Setelah berpamitan, para undangan kembali ke negeri dan dusunnya masing-masing untuk mencari nafkah sehari-hari.
Sementara itu, Aji Batara Agung Dewa Sakti makin hari makin dewasa. Ia tumbuh menjadi remaja yang gagah, tampan, cerdas dan berwibawa. Ia kelak akan menjadi Raja pertama dari kerajaan Kutai Kartanegara. Setelah mencapai usia dewasa, tibalah saatnya Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat menjadi raja Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura yang pertama (1300-1325). Saat ia diangkat menjadi raja, Erau kembali diadakan dengan meriah. Sebagai raja pertama, maka Aji Batara Agung Dewa Sakti diangkat sebagai nenek moyang raja-raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura.
Setelah menjadi raja, Aji Batara Agung Dewa Sakti menikah dengan seorang putri yang cantik jelita bernama Putri Karang Melenu. Konon ceritanya, Putri Karang Melenu juga merupakan titisan Dewa dari khayangan. Awalnya, ia adalah ulat yang ditemukan oleh seorang Petinggi Hulu Dusun di daerah dekat Aliran Sungai Mahakam. Pada suatu hari, ketika Petinggi Hulu Dusun sedang membelah kayu bakar tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor ulat kecil. Ulat kecil itu melingkar di belahan kayu dan memandangnya dengan mata yang sayu, seakan minta dikasihani. Dengan lembut sang Petinggi mengambil ulat itu untuk dipelihara.
Waktu terus berlalu. Ulat kecil tumbuh semakin besar. Lama-kelamaan binatang itu berubah menjadi seekor naga yang besar. Meskipun besar dan menyeramkan, naga itu jinak dan tak pernah keluar dari rumah. Pada suatu malam Petinggi bermimpi bertemu seorang putri yang cantik jelita. Dalam mimpinya, sang putri berkata "Ayah dan Bunda tidak usah takut pada ananda, meski tubuh ananda besar dan menakutkan. Izinkanlah ananda untuk pergi dari sini. Buatkanlah ananda sebuah tangga untuk merayap ke bawah". Ketika terbangun, sang Petinggi menceritakan mimpinya kepada istrinya, Babu Jaruma.
Keesokan harinya, sang Petinggi sibuk membuat tangga dari kayu. Anak tangganya terbuat dari bambu yang diikat dengan akar. Selesai membuat tangga, tiba-tiba Petinggi mendengar suara sang putri yang menemuinya dalam mimpi. "Bila ananda telah turun ke tanah, ananda minta Ayahanda dan Bunda mengikuti ananda kemana saja ananda merayap. Ananda juga minta agar Ayahanda membakar wijen hitam serta menabur ananda dengan beras kuning. Jika ananda merayap sampai ke sungai dan menyelam, ananda mohon Ayahanda dan Bunda mengiringi buihku". Sang naga pun kemudian menuruni tangga, dan merayap meninggalkan rumah. Sang Petinggi dan istrinya mengikuti naga itu sesuai dengan petunjuk sang Putri.
Ketika sang Naga sampai di sungai, ia berenang tujuh kali berturut-turut ke hulu dan tujuh kali ke hilir. Kemudian dia berenang ke Tepian Batu. Petinggi dan istrinya mengikuti sang Naga dengan perahu. Di Tepian Batu, sang Naga berenang ke kiri tiga kali dan ke kanan tiga kali kemudian menyelam. Pada saat menyelam, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang sangat dahsyat. Air sungai pun bergolak. Angin topan bertiup dengan kencang. Hujan deras turun disertai guntur dan petir bersahut-sahutan. Perahu yang ditumpangi Petinggi dan istrinya terombang-ambing oleh gelombang air sungai. Dengan susah payah Petinggi berusaha mengayuh perahunya ke tepi.
Tak lama peristiwa itu berlangsung, tiba-tiba cuaca kembali terang. Petinggi dan istrinya heran. Ke mana perginya sang Naga? Tiba-tiba mereka melihat suatu pemandangan yang menakjubkan. Air sungai Mahakam dipenuhi dengan buih. Warna-warni sinar pelangi menerpa buih hingga bercahaya kemilau. Petinggi dan istrinya mendekat. Mereka terkejut karena di tumpukan buih itu terdapat sebuah gong besar dan di dalamnya ada sebuah benda. Entahlah, benda apa itu? Petinggi dan istrinya semakin penasaran. Petinggi bergegas mengayuh perahunya ke arah benda itu."Lihat Pak! sepertinya benda itu seorang bayi," seru istri Petinggi sambil menunjuk ke arah gong itu. Ternyata benar, benda di dalam gong itu adalah seorang bayi perempuan. Kemudian mereka pun mengambil gong berisi bayi itu dan membawanya pulang.
Sang Petinggi dan istrinya merawat bayi itu dengan baik seperti anak kandungnya sendiri. Mereka sangat senang sekali mendapatkan anak dari khayangan. Setelah genap tiga hari, putuslah tali pusar bayi itu. Sesuai perintah Dewa di dalam mimpi Petinggi, bayi perempuan itu diberi nama Putri Karang Melenu. Waktu terus berjalan, Putri Karang Melenu tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik jelita, baik budi dan pintar. Setelah dewasa, Dewata pun mempertemukannya dengan Aji Batara Agung Dewa Sakti. Keduanya lalu menikah. Sang Putri pun menjadi permaisuri Raja Kutai Kartanegara Ing Marta Dipura I dan melahirkan seorang putra bernama Aji Batara Agung Paduka Nira.
Sumber:
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011)