Cerita Rakyat Propinsi Yogya, Asal Mula Kanjeng Kyai Plered

Dahulu kala, ada seorang tumenggung bernama Wilatikta. Sang Tumenggung mempunyai dua orang anak bernama Raden Sahid dan Rasa Wulan. Ketika kedua orang anaknya itu telah menginjak dewasa, Tumenggung Wilatikta memanggil mereka berdua. Kepada anak laki-lakinya, Tumenggung Wilatikta berkata, "Sahid, kau sekarang kau sudah dewasa, nak. Ayahmu telah tua. Kaulah yang akan menggantikan kedudukan ayahmu menjadi Tumenggung bila ayah sudah tidak mampu melaksanakannya.

Raden Sahid mendengarkan kata-kata ayahnya dengan cermat. Dia duduk bersila di hadapan ayahnya. Kepalanya menunduk menandakan hormat kepada ayahnya.

"Untuk itu, aku dan ibumu mengharapkan agar engkau segera beristri, Sahid. Katakanlah, gadis mana yang cocok dengan pilihanmu. Nanti akulah yang akan melamarkan untukmu."

Mendengar kata-kata ayahnya itu, merenunglah Raden Sahid. Sebenarnya dia belum memiliki rencana untuk beristri. Di dalam hati dia menolak suruhan ayahnya untuk beristri, tetapi akan menolaknya secara terus terang dia tidak memiliki keberanian. Khawatir akan membuat sedih hati ayah dan ibunya. Beberapa saat lamanya Raden Sahid diam saja, dalam kebimbangan.

"Mengapa engkau diam saja. Sahid?" tanya Tumenggung Wilatikta. "Apakah kau menolak keinginanku?"

"Ampun ayahanda," kata Raden Sahid dengan hormatnya. "Sama sekali saya tidak bermaksud menolak permintaan ayahanda."

"Tetapi mengapa engkau diam saja?" kata Tumenggung Wilatikta. "Mengapa engkau tidak segera menjawab?"

"Ampun Ayahanda," kata Raden Sahid. "Soal isteri, hamba tak dapat melaksanakannya dengan segera."

"Jadi engkau menolak perintah ayahmu!" Tumenggung Wilatikta membentak.

"Bukan begitu, ayahanda," kata Raden Sahid. "Sampai saat ini hamba masih dalam taraf menimbang-nimbang gadis mana yang cocok untuk menjadi menantu ayahanda."

"Baiklah kalau begitu," kata Tumenggung Wilatikta. "Pertimbangkanlah masak-masak. Dan hati-hatilah kau memilih calon jodohmu."

Sesudah itu Raden Sahid diperkenankan mundur dari hadapan Sang Tumenggung. Selanjutnya, kepada anak perempuannya, yaitu Rasa Wulan, Tumenggung Wilatikta juga menyuruh agar segera mempersiapkan diri untuk menerima lamaran orang lain. Rasa Wulan tanpa membantah menyanggupi suruhan ayahmya, lalu minta diri mundur dari hadapan ayahandanya.

Malam harinya, Raden Sahid gelisah. Sampai larut malam dia tak dapat tidur. Sedih hatinya, mengingat suruhan ayahnya untuk segera beristeri, padahal sama sekali belum punya niat untuk itu. "Aku harus pergi dari sini, untuk menghindari paksaan ayah," begitu pikir Raden Sahid. Dengan tekad demikian, maka pada waktu larut malam, ketika seisi Ketumenggungan sedang lelap beristirahat (tidur), diam-diam Raden Sahid keluar dari dalam kamarnya, lalu pergi.

Pagi harinya, Rasa Wulan mengetahui bahwa Raden Sahid tidak ada di kamarnya . Dia khawatir, jangan-jangan kakaknya itu minggat. Dengan harap-harap cemas Rasa Wulan mencari kakaknya kemana-mana. Setelah tidak berhasil menemukannya meski sudah mencarinya ke berbagai tempat, yakinlah Rasa Wulan, bahwa kakaknya telah meninggalkan rumah. Dia mengetahui alasannya mengapa sang kakak pergi, tidak lain ialah agar terhindar dari paksaan ayahnya untuk beristri.

"Mengapa dia tidak mengajak aku," kata Rasa Wulan dalam hati. Aku juga bermaksud pergi dari sini, supaya terhindar dari paksaan ayah untuk segera bersuami." Kemudian Rasa Wulan masuk ke kamarnya untuk menyiapkan pakaian. Setelah itu ia pun pergi menyusul kakaknya. Malam harinya, barulah orang-orang seisi rumah Ketumenggungan mengetahui bahwa Raden Sahid dan Rasa Wulan pergi tanpa sepengetahuan orang tuanya. Mendengar laporan bahwa kedua orang anaknya pergi, terkejutlah Tumenggung Wilatikta. Cepat-cepat ia menyebar bawahannya ke berbagai tempat, namun tidak berhasil menemukan Raden Sahid dan Rasa Wulan. Berhari-hari, berminggu-minggu bahkan bertahun-tahun dilakukan pelacakan, tetapi usaha untuk menemukan kedua orang anak Tumenggung Wilatikta itu tidak menemukan hasil.

Bertahun-tahun Raden Sahid mengembara, mengalami pahit dan getirnya penderitaan, serta menghadapai berbagai cobaan, sehingga di kemudian hari ia dikenal sebagai seorang wali yang sangat mashur, bernama Kanjeng Sunan Kalijaga.

Adapun Rasa Wulan, di dalam pengembaraannya mencari Raden Sahid, setelah bertahun-tahun tidak berhasil menemukan kakaknya itu, akhirnya dia bertapa di tengah hutan Glagahwangi. Di hutan itu Rasa Wulan bertapa ngidang.*)

Di dalam hutan itu, ada sebuah danau bernama Sendhang Beji. Tepat di tepi danau itu tumbuhlah sebatang pohon yang besar dan rindang. Batang pohon itu condong dan menaungi permukaan danau. Pada salah satu cabang yang menjorok keatas permukaan air danau Sendhang Beji itu, ada orang yang sedang bertapa. Orang itu bernama Syekh Maulana Mahgribi. Pada cabang pohon besar itu, Syekh Maulana Mahgribi bertapa ngalong.**)

Pada suatu siang yang cerah, datanglah Rasa Wulan ke Sendhang Beji itu untuk mandi, karena memancarkan sinarnya yang sangat terik. Perlahan-lahan Rasa Wulan menghampiri Sendhang Beji yang airnya jernih dan segar. Sama sekali ia tidak tahu bahwa diatas permukaan air Sendhang Beji itu ada seorang laki-laki yang sedang bertapa. Karena mengira tidak ada orang lain kecuali dia sendiri di tempat itu, maka dengan tenang dan tanpa malu-malu Rasa Wulan membuka seluruh pakaian penutup tubuhnya. Dengan perlahan-lahan Rasa Wulan berjalan menghampiri danau. Dengan tenangnya dia mandi di Sendhang Beji itu, kesejukan air danau itu membuat kesegaran yang terasa sangat nyaman pada tubuhnya.

Sementara itu Syekh Maulana Mahgribi yang sedang bertapa tepat di atas air danau tempat Rasa Wulan mandi, memandang kemolekan tubuh Rasa Wulan dengan penuh pesona. Melihat kecantikan wajah dan tubuh Rasa Wulan yang sedang mandi tepat di bawahnya, bangkitlah birahi Syekh Maulana Mahribi. Meneteslah air mani Syekh Maulana Mahgribi jatuh tepat pada tempat Rasa Wulan Mandi.

Karena peristiwa itu, maka hamillah Rasa Wulan. Akhrinya Rasa Wulan tahu, bahwa ada orang laki-laki yang bergantungan pada cabang pohon di atas danau itu. Dan laki-laki itulah yang menyebabkan kehamilannya.
"Mengapa kau berbuat demikian?" Rasa Wulan memprotes, dengan menunjuk-nunjuk ke arah Syekh Maulana Mahgribi. "Mengapa engkau menghamiliku?"

Menerima dampratan demikian itu, Syekh Maulana Mahgribi diam saja, seakan-akan sama sekali tidak mendengar apa-apa.

"Kamulah yang menghamiliku," kata Rasa Wulan. "Kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu."

"Mengapa kau menuduhku," tanya Syekh Maulana Mahgribi

"Lihat. Aku hamil ," kata Rasa Wulan. "Dan kamulah yang menghamili."

"Kamu yakin bahwa aku yang menyebabkan kamu hamil?" tanya Syekh Maulana Mahgribi.

"Ya, aku yakin," kata Rasa Wulan . "Aku yakin bahwa kamulah yang menyebabkan aku hamil."

"Mengapa?" tanya Syekh Maulana Mahgribi. "Mengapa aku yang kau tuduh menghamili kamu?"

"Di tempat ini tidak ada orang laki-laki lain kecuali kamu," kata Rasa Wulan. "Maka kamulah yang kutuduh menghamiliku."

Untuk menghindarkan diri dari tuduhan itu, maka Syekh Maulana Mahgribi lalu mencabut kemaluannya. Kemudian ia menyingkapkan sarungnya dan menunjukkan kepada Rasa Wulan bahwa dia tidak mempunyai kemaluan, berkatalah Syekh Maulana Mahgribi," lihatlah, aku bukan laki-laki, mana mungkin aku menghamilimu."

"Bagaimanapun, aku tetap menuduh bahwa kamulah yang menghamili diriku," kata Rasa Wulan. "Maka kamu harus bertanggung jawab terhadap kehidupan bayi yang kukandung ini."

"Aku harus bertanggung jawab?" tanya Syekh Maulana Mahgribi.

"Ya, kamu harus bertanggung jawab," kata Rasa Wulan. "Kamulah yang harus mengasuh dan memelihara anak ini kelak setelah lahir.

Syekh Maulana Mahgribi tidak dapat lagi mengelak. Setelah anak yang dikandung Rasa Wulan itu lahir, lalu diserahkan kepada Syekh Maulana Mahgribi. Anak itu diberi nama Kidangtelangkas. Keturunan Kidangtelangkas itu kelak secara turun-temurun menjadi Raja di tanah Jawa.

Namun, terjadi suatu keajaiban. Kemaluan Syekh Maulana Mahgribi yang dicabut itu berubah wujud menjadi sebilah mata tombak. Tombak yang terjadi dari kemaluan Syekh Maulana Mahgribi itu akhirnya menjadi "Sipat Kandel" (senjata andalan) raja-raja jawa. Tombak itu dinamakan Kanjeng Kyai Plered.

Secara turun-temurun tombak Kanjeng Kyai Plered itu diwariskan kepada raja-raja yang bertahta. Pada waktu Dhanang Sutawijaya berperang tanding melawan Arya Penangsang. Dhanang Sutawijaya dipersenjatai tombak Kyai Plered, dan dengan senjata andalan itu pula Sutawijaya berhasil membunuh Arya Penangsang. Selanjutnya Dhanang Sutawijawa menjadi Raja Mataram, dan Kanjeng Kyai Plered merupakan senjata pusaka kerajaan Mataram. Saat ini tombak Kanjeng Kyai Plered itu menjadi senjata pusaka di Keraton Yogyakarta.

*) "Ngidang" berasal dari kata "Kidang" yang berarti kijang. Jadi Ngidang berarti seperti kijang. Tapa Ngidang berarti bertapa seperti kijang, hidup bersama-sama kawanan kijang dan mengerjakan apa yang dikerjakan oleh kijang, termasak makan makanan yang biasa dimakan oleh kijang. 

**) Tapa Ngalong berarti bertapa seperti kalong (kelelawar), bergantungan pada cabang pohon.


 Sumber 
Buku cerita rakyat Indonesia Super lengkap 33 Propinsi
Diceritakan kembali oleh : Daru Wijayanti 
Ilustrasi : Ganjar Darmayekti 
Penerbit : New Diglossia (Yogyakarta), 2011
Next Post Previous Post