Hakikat kemerdekaan
Kemerdekaan adalah hak dasar manusia. Siapapun dan bangsa manapun tidak akan sudi hidup di bawah tekanan atau dominasi pihak lain. Karena itulah sejarah peradaban manusia tak pernah sepi dari episode perjuangan berbagai bangsa, termasuk bangsa Indonesia, untuk meraih kemerdekaan. Sekarang orang menyebut sebagai era kemerdekaan karena, katanya, semua bangsa-bangsa telah merdeka.
Benarkah bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang ada di muka bumi ini telah benar-benar merdeka? Apa sebenarnya yang disebut merdeka? Atau bila di balik, apa sebenarnya yang dimaksud dengan penjajahan itu? Benarkah penjajahan saat ini telah berakhir?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), merdeka diartikan sebagai bebas dari perhambaan atau penjajahan, berdiri sendiri dan tidak terikat atau tidak bergantung kepada pihak tertentu. Bila demikian, apakah bangsa Indonesia benar-benar telah merdeka? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat dari dua unsur penting dalam kehidupan berbangsa dan negara, yakni apakah dalam menentukan kebijakan dan peraturan perundang-undangan kita benar-benar telah bisa berdiri sendiri, tidak terikat dan bergantung pada pihak lain? Ternyata tidak.
Dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, misalnya, tekanan dan intervensi asing sangat besar. Menurut Eva Kusuma Sundari, politisi PDIP, berdasar informasi dari Badan Intelijen Negara (BIN), selama 12 tahun reformasi ada 76 produk undang-undang di sektor strategis seperti pendidikan, perbankan, energi, kesehatan dan politik seperti UU Sumber Daya Air No.7 tahun 2004, UU Kelistrikan No.20 tahun 2002, UU Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003, UU Migas No.22 tahun 2001, UU BUMN No.19 tahun 2003, UU Penanaman Modal No.25 tahun 2007 serta UU Pemilu No.10 tahun 2008. Semua UU tersebut draft-nya disusun oleh pihak asing, yakni Bank Dunia, IMF dan USAID. Hampir semua produk undang-undang yang diback-up oleh pihak asing tersebut sangat kental bernuansa liberalisasi.
Eva juga mengungkapkan bahwa membuka pasar bebas, menghilangkan proteksi, free competitionsdan membuat standarisasi yang membebani petani dan rakyat kecil adalah syarat-syarat yang diajukan Bank Dunia, IMF dan USAID dalam proses legislasi. Semua persyaratan tersebut tidak lain adalah manifestasi dari resep-resep ekonomi yang termaktub dalam Washington Consensuss atau yang populer dengan istilah neoliberalisme. Intinya adalah penguasaan ekonomi nasional oleh negara besar melaluiMulti-national Corporation.
Bahkan intervensi asing dalam proses legislasi juga terlihat dalam proses amandemen UUD 1945, yang kemudian melahirkan “UUD 2002”. Lembaga-lembaga semacam USAID dan UNDP turut membiayai proses amandemen yang juga mengubah pasal 33 UUD 1945 (yang sebenarnya berwatak sosialis) menjadi ramah pada liberalisasi. Sejak itulah regulasi-regulasi sektor ekonomi yang bernuansa liberal makin masif disusun oleh Pemerintah dan Parlemen.
Intervensi asing melalui undang-undang merupakan ‘modus’ penjajahan baru (neoimperialisme). Penjajahan adalah metode utama penyebaran ideologi Kapitalisme. Bila dalam imperialisme lama penguasaan suatu negara dilakukan melalui agresi dan invasi militer, tidak demikian halnya dalam imperialisme modern. Sang imperialis cukup mengintervensi kebijakan suatu negeri untuk menggapai tujuannya menguasai politik dan ekonomi negeri itu. Tentu saja harus ada ‘keramahan’ dari negara tujuan kolonialisasi dalam menyambut “uluran tangan” sang imperialis.
Puluhan undang-undang yang disebut Eva Sundari sebagai pesanan asing hanyalah salah satu bukti dari sekian banyak bukti keramahan para pengambil kebijakan di negeri ini pada imperialisme. Alih-alih menjaga kekayaan alam Indonesia dari penjarahan imperialisme, para penguasa negeri malah dengan senang hati berperan sebagai komprador yang menjadi kepanjangan tangan imperialis seperti yang diidentifikasi John Perkins dalam bukunya, Economic Hit Man. Jadi, pengungkapan Eva Sundari mengenai kepentingan asing di balik berbagai produk undang-undang hanyalah sebuah penegasan bahwa negeri ini tengah berada di bawah dominasi imperialis dalam berbagai sektor, utamanya ekonomi. Bila demikian, bagaimana kita bisa menyatakan bahwa kita sudah benar-benar merdeka?
Apa yang disampaikan oleh Saad bin Abi Waqqas di atas kiranya penting disimak. Dialog bernas jelang perang itu memberi kita pengertian sangat fundamental tentang apa itu merdeka. Merdeka yang sebenarnya adalah bila kita bisa benar-benar menghamba pada Tuhan manusia (Rabb an-nâs) dalam seluruh aspek kehidupan. Ini karena kita diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia merdeka memang dengan misi utama semata untuk menghamba kepada-Nya.
Oleh karena itu, perjuangan Hizbut Tahrir, sesuai arti dari namanya, dalam menegakkan syariah dan Khilafah, tak lain adalah untuk membawa negeri ini ke kemerdekaan hakiki. Itulah penghambaan kepada Tuhan manusia, yaitu Allah SWT, dengan tunduk pada segenap syariah-Nya di semua lapangan kehidupan baik kehidupan pribadi, keluarga maupun kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tidak seperti sekarang, kita merasa sudah merdeka tetapi peraturan perundangannya justru bertentangan dengan kehendak-Nya serta harus tunduk dan bergantung pada pihak lain.
Di sisi kebijakan, kita pun tidak sepenuhnya bebas menentukan sendiri. Contoh paling aktual adalah masalah pengelolaan tambang emas di Papua. Seorang pejabat tinggi yang sangat dekat dengan pucuk pimpinan negeri ini terus terang menyampaikan, bagi AS, pengelolaan tambang emas di Papua oleh PT Freeport adalah harga mati. AS mengancam, bila Indonesia berani mengutak-utik soal ini, tak segan mereka bakal ambil tindakan keras. Di antaranya mendorong kemerdekaan wilayah Papua. Itu tidak sulit dilakukan. Dalam waktu singkat 3000 pasukan AS di Darwin dengan mudah diterbangkan ke Papua, dan Armada 7 di Samudera Pasific juga dengan cepat bisa segera merapat. Lepaslah Papua. Merdeka.
sumber : Hizbut tahrir
wallahu a'lam.....