Ali Bin Abi Thalib Di Medan Perang
Ketika terjadi perang Uhud, mayat-mayat bergelimpangan di segenap penjuru. Tak satupun yang utuh. Di pihak syuhada Muslimin, korban-korban perang bangkai-bangkai yang dimakan binatang buas. Sungguh mengerikan.
Pihak musuh dipimpin oleh dua panglima Quraisy yang gagah perkasa, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jalal, yang mengamuk bagaikan macan-macan gurun yang haus darah. Rasulullah telah terluka. Hamzah pamannya telah dibantai oleh Wasya, tangan kanan Hindun istri Abu Sufyan. Wasya bukan hanya membunuh pahlawan utama kaum Muslimin itu, bahkan mengorek jantungnya, dan diserahkan kepada majikannya. Oleh Hindun, Jantung Hamzah dikunyah mentah-mentah sebagai pelampiasan dendam lamanya.
Ali bin Abi Thalib terlibat pertarungan dengan seorang panglima musyrik yang tangguh. Ia seorang yang cekatan dan lihai dalam menggunakan pedang, baik di atas kudanya maupun di medan pasir yang terik.
Darah Ali bin Abi Thalib telah membasahi sekujur tubuhnya. Pakaiannya telah tercabik-cabik, perisainya terlempar jauh. Kelebatan pedang lawan menyambar-nyambar bagaikan kilat, maut mengancam jiwanya. Ali benar-benar dalam bahaya yang sangat gawat.
Dalam suatu kesempatan, Ali berhasil menangkis pedang lawan yang mengarah ke lehernya, dan dengan cepat ia berhasil menggunting kaki panglima musyrik itu.
Orang kafir itu menjadi terkejut, ia tak menduga akan mendapat serangan semacam itu, maka ia terguling jatuh dan pedangnya terlepas yang segera di tendang jauh oleh Ali. Kemudian pahlawan kaum Muslimin muda itu dengan gesit melompat keatas tubuh lawannya. Dicabutnya pisau pendek dari pinggangnya, dan tangannya yang sudah terangkat tinggi siap untuk menghunjamkan pisaunya ke jantung musuh yang telah tak berdaya.
Namun tiba-tiba, tatkala dalam beberapa detik lagi pisau Ali yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari akan menghabisi nyawanya, orang musyirik itu meludahi muka Ali tepat mengenai mata, hidung dan mulutnya.
Ali mengurungkan niatnya. Tangan yang memegang pisau diturunkan kembali. Ia sangat jijik dan marah, wajahnya merah padam, dadanya nyaris meledak karena murka. Ludah orang itu bukan main busuknya, hampir saja Ali muntah-muntah.
Yang sangat mengherankan, dalam keadaan darahnya bergolak panas karena merasa dihina dan direndahkan. Ali bin Abi Thalib justru melemparkan pisaunya ke samping. Lalu ia segera berdiri dan menyuruh lawannya itu pergi.
Orang musyirik itu menjadi heran dan terbengong-bengong.
"Mengapa engkau melepaskan diriku? Kenapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah dirimu, padahal seandainya tadi posisiku sepertimu, pasti kau sudah mampus!" kata orang musyirik itu dengan nada tidak percaya.
"Untuk membunuhmu bisa diselesaikan lain kali," jawab Ali seraya mengusap debu yang menempel di bajunya. "Tetapi, kalau aku membunuhmu sekarang, itu bukan karena Allah semata-mata, melainkan karena aku marah karena kau ludahi. Berbeda dengan sebelumnya saat aku benar-benar bertempur dengan dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku tidak mau mengotori tangan dan perjuanganku dengan darah manusia karena alasan hawa nafsu, betapapun besarnya kemarahanku karena kau hina dengan perbuatanmu meludahi wajahku tadi."
Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya
Pihak musuh dipimpin oleh dua panglima Quraisy yang gagah perkasa, Khalid bin Walid dan Ikrimah bin Abi Jalal, yang mengamuk bagaikan macan-macan gurun yang haus darah. Rasulullah telah terluka. Hamzah pamannya telah dibantai oleh Wasya, tangan kanan Hindun istri Abu Sufyan. Wasya bukan hanya membunuh pahlawan utama kaum Muslimin itu, bahkan mengorek jantungnya, dan diserahkan kepada majikannya. Oleh Hindun, Jantung Hamzah dikunyah mentah-mentah sebagai pelampiasan dendam lamanya.
Ali bin Abi Thalib terlibat pertarungan dengan seorang panglima musyrik yang tangguh. Ia seorang yang cekatan dan lihai dalam menggunakan pedang, baik di atas kudanya maupun di medan pasir yang terik.
Darah Ali bin Abi Thalib telah membasahi sekujur tubuhnya. Pakaiannya telah tercabik-cabik, perisainya terlempar jauh. Kelebatan pedang lawan menyambar-nyambar bagaikan kilat, maut mengancam jiwanya. Ali benar-benar dalam bahaya yang sangat gawat.
Dalam suatu kesempatan, Ali berhasil menangkis pedang lawan yang mengarah ke lehernya, dan dengan cepat ia berhasil menggunting kaki panglima musyrik itu.
Orang kafir itu menjadi terkejut, ia tak menduga akan mendapat serangan semacam itu, maka ia terguling jatuh dan pedangnya terlepas yang segera di tendang jauh oleh Ali. Kemudian pahlawan kaum Muslimin muda itu dengan gesit melompat keatas tubuh lawannya. Dicabutnya pisau pendek dari pinggangnya, dan tangannya yang sudah terangkat tinggi siap untuk menghunjamkan pisaunya ke jantung musuh yang telah tak berdaya.
Namun tiba-tiba, tatkala dalam beberapa detik lagi pisau Ali yang berkilat-kilat ditimpa sinar matahari akan menghabisi nyawanya, orang musyirik itu meludahi muka Ali tepat mengenai mata, hidung dan mulutnya.
Ali mengurungkan niatnya. Tangan yang memegang pisau diturunkan kembali. Ia sangat jijik dan marah, wajahnya merah padam, dadanya nyaris meledak karena murka. Ludah orang itu bukan main busuknya, hampir saja Ali muntah-muntah.
Yang sangat mengherankan, dalam keadaan darahnya bergolak panas karena merasa dihina dan direndahkan. Ali bin Abi Thalib justru melemparkan pisaunya ke samping. Lalu ia segera berdiri dan menyuruh lawannya itu pergi.
Orang musyirik itu menjadi heran dan terbengong-bengong.
"Mengapa engkau melepaskan diriku? Kenapa engkau tidak jadi membunuhku? Gilakah dirimu, padahal seandainya tadi posisiku sepertimu, pasti kau sudah mampus!" kata orang musyirik itu dengan nada tidak percaya.
"Untuk membunuhmu bisa diselesaikan lain kali," jawab Ali seraya mengusap debu yang menempel di bajunya. "Tetapi, kalau aku membunuhmu sekarang, itu bukan karena Allah semata-mata, melainkan karena aku marah karena kau ludahi. Berbeda dengan sebelumnya saat aku benar-benar bertempur dengan dasar keyakinan untuk membela agama yang benar. Aku tidak mau mengotori tangan dan perjuanganku dengan darah manusia karena alasan hawa nafsu, betapapun besarnya kemarahanku karena kau hina dengan perbuatanmu meludahi wajahku tadi."
Sumber: Buku 30 Dongeng Sebelum Tidur Untuk Anak Muslim
Penyusun: KidhHidayat, MB. Rahimsyah
Diterbitkan oleh: Mitra Ummat Surabaya