Uteg-Uteg Ugel

Uteg-uteg-ugel
Uteg-uteg-ugel adalah nama seseorang. Nama yang kedengarannya aneh tersebut sebenarnya merupakan nama sindiran yang diberikan oleh penduduk desa karena mengingat bentuk tubuh dan kelakuan Uteg-uteg-ugel makan, tidak pernah ingat kepada siapa saja. Ia melahap habis makanan yang ada di hadapannya, dan bukan itu saja, melainkan bila hidungnya masih mencium bau makanan, tentu saja dicarinya sampai ketemu. Tidak heran, apabila badannya yang pendek itu menjadi sangat gemuk, perutnya gendut dan jalanpun agak susah. Selain itu, ia juga mempunyai mempunyai sifat takabur dan suka dipuji.

Pada suatu hari, panas terasa terik. Banyak penduduk desa yang merasa kegerahan duduk-duduk di bawah pohon mencari angin, sambil beristirahat. Sementara semua orang sedang terkantuk-kantuk, Uteg-uteg-ugel merasa resah. Matanya mencari makanan kesana kemari. Uteg-uteg-ugel berjalan menuju arah selatan. Pikirannya tertuju pada buah elo, yang rasanya asam-asam manis. Buah itu sangat cocok dibuat rujak.

Ketika ia sedang berjalan, ada orang yang bertanya kepadanya. "Akan kemana Ki?" tanya orang itu heran.

"Eh, eh ....ehm ....a, akan pergi ke bukit."

"Akan mencari apa Ki? tanya orang itu lagi.

"Mencari elo" jawabnya singkat.

"Di seberang kali ada pohon elo, buahnya masak-masak."

"Apakah pohon itu berbuah lebat?" tanya Uteg-uteg-ugel.

"Tidak Ki"

"Aku tidak mau, terlampau sedikit. Akan kucari lagi di tempat lain."

Uteg-uteg-ugel meneruskan perjalanan. Di tengah perjalanan ia ditanya lagi oleh penduduk yang lain. "Akan pergi kemana Ki, di hari yang amat panas begini?"

"Mau mencari-cari," jawab Uteg-uteg-ugel ketus.

"Mencari apa Ki?" tanya orang itu lagi.

"Mencari elo." jawabnya singkat.

"Di sana, di tepi telaga ada pohon elo, buahnya besar-besar."

"Apakah buahnya lebat?" desak Uteg-uteg-ugel.

"Sayang sekali Ki, kemarin saya melihat ada sebagian yang telah dipetik oleh anak-anak."

"Aku tidak mau, masih kurang banyak" katanya, lalu meneruskan perjalanan ke selatan.

Penampilan Uteg-uteg-ugel pada siang itu benar-benar mencerminkan wataknya. Bajunya berwarna merah, longgar, tidak menutup perutnya yang gendut, di punggungnya menyandang bumbung yang berisi garam dan cabe. Jalan tergopoh-gopoh dengan bahu agak terangkat layaknya seperti ksatria yang hendak maju berperang. Namun, bagi Uteg-uteg-ugel hal itu menunjukkan ketidak sabarannya ingin segera menghabiskan makanan yang diinginkan.

Tidak lama berjalan, ada lagi orang yang bertanya kepadanya,"Aki Uteg-uteg-ugel, siang ini Aki terlihat sangat gagah, akan pergi ke mana Ki?"

Merasa ada yang memuji, Uteg-uteg-ugel berhenti berjalan lalu jawabnya dengan sombong" Aku sedang mencari buah elo, kesana kemari aku tidak mendapatkan buah elo yang pantas aku makan."

"Oh, aku tahu yang kau kehendaki, tentu buah elo yang ranum dari sebuah pohon yang lebat buahnya. Di sana Ki, di lereng bukit tidak jauh dari sini."

"Bila Aki menghendaki, biar aku antarkan." Kata orang itu menambahkan.

Cepat-cepat Uteg-uteg-ugel menukas, "Tidak usah, aku dapat ke sana sendiri"

"Uh, ..... dasar Uteg-uteg-ugel," gerutu orang itu dalam hati.

Bergegas Uteg-uteg-ugel menuju ke bukit yang di tunjukkan oleh orang tadi. Sampai di sana, cepat-cepat ia memanjat pohon dengan bumbung berada di punggung. Di cabang yang besar, ia duduk menumbuk cabe dan garam. Kemudian ia memetik buah elo, lalu dimasukkan ke dalam bumbung. Ia menumbuk tidak begitu halus, lalu dimakan. Hal demikian dilakukan berulang-ulang, beralih dari cabang yang satu ke cabang yang lain, hingga tak terasa buah elo yang mulanya lebat itu kini tak tersisa lagi.

Mulut Uteg-uteg-ugel kepedasan bukan main. Perutnya terasa panas, air liurnya menetes-netes dari mulutnya yang menganga, sambil mengeluarkan bunyi, ssh hah, sss hah, ..." tergopoh-gopoh ia mencari air ke mana-mana. Ketika sedang berjalan ada penduduk desa yang bertanya kepadanya, "Akan ke mana Ki?"

"Mencari air," jawabnya sambil masih kepedasan.

"Di sumur itu, Ki, airnya belum kering sekali. Untuk minum kira-kira masih cukup."

"Aku akan mencari air yang banyak."

Ia berjalan terus menuju ke lembah. Lalu bertemu lagi dengan penduduk desa yang lain, Ketika ditunjukkan air telaga yang dangkal. Uteg-uteg-ugel juga menolak. Akhirnya ditemukan sebuah sungai yang airnya jernih. Sungai itu berasal dari mata air kecil yang berada di atas bukit. "Ini dia yang aku cari" katanya. Tanpa berpikir panjang air sungai diminumnya sampai habis. Tentu saja ikan dan udang menggelepar-gelepar kekeringan. Kabar itu tersiar dari mulut ke mulut sehingga mengundang penduduk desa untuk saling menangkapnya.

Sementara penduduk desa kesenangan menangkap ikan, Uteg-uteg-ugel dalam keadaan payah. Perutnya melembung seperti balon, nafasnya tersengal-sengal. Mulutnya hanya bisa mengucapkan kata "Ampun" dan "Tolong" dengan suara lirih.

Tidak ada orang yang dapat menolongnya. Mereka hanya dapat memijit-mijit perut Uteg-uteg-ugel, namun, tidak dapat mengurangi rasa sakit yang di deritanya. Maka lebih baik penduduk desa mencari ikan dan udang.

Karena tidak ada yang dapat menolong, maka Uteg-uteg-ugel meminta pertolongan kepada ikan dan udang yang tinggal di sungai. "Hei udang dan ikan, tolonglah aku. Aku tak kuat lagi. Gigitlah perutku, biar aku mati." kata-katanya hampir tak terdengar di telinga.

Semua udang dan ikan telah mencoba menggigit perut Uteg-uteg-ugel. Namun, tak satupun berhasil. Ia putus asa. Hari telah menjelang senja ketika seekor udang besar merambat di perutnya, mencoba untuk menggigit sekuat tenaga, agar perut itu menjadi pecah. Dicobanya berkali-kali, Uteg-uteg-ugel pasrah.

Penduduk desa segerombol demi segerombol pulang dengna membawa ikan. Namun masih ada juga beberapa orang yang sampai senja belum beranjak dari sungai, walaupun air sungai mulai berair lagi. Tiba-tiba terdengar suara seperti tempayan pecah. Perut Uteg-uteg-ugel pecah. Air keluar dari perut Uteg-uteg-ugel seperti air bah. Beberapa penduduk terbawa oleh air. Uteg-uteg-ugel mati.

Kesimpulan
Orang yang serakah dan tamak akan mendapat celaka dari ketamakannya. 

Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996





Next Post Previous Post