Aryo Menak dan Tunjung Wulan
Aryo Menak seorang pemuda Madura yang gagah. Ia amat suka mengembara. Seluruh waktunya dihabiskan dengan keluar masuk hutan. Ia ingin menimba pengalaman sebanyak-banyaknya dari kejadian demi kejadian yang dijumpainya.
Malam itu bulan purnama. Bulan tampak bundar di langit. Aryo Menak berjalan menyusuri hutan sembari tak bosan-bosannya memandangi kecantikan bulan.
"Hm, malam ini sangat indah,' desah Aryo Menak. Tiba-tiba ia mendengar sayup-sayup suara perempuan. Ia merasa tertarik. Lalu, ia berjalan mencari asal suara itu.
Aryo Menak tiba di sebuah telaga. Air telaga sangat jernih. Bayangan bulan tampak bermain-main di permukaan air telaga. Sementara itu, suara-suara perempuan itu terdengar semakin ramai.
Aryo Menak berjalan mengendap-ngendap. Kemudia, ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintip. Ohoo, ternyata ada beberapa bidadari cantik sedang mandi di telaga! Mereka tak tahu kalau Aryo Menak ada di situ. Mereka tetap asyik mandi sambil bercanda gembira.
Tanpa sadar Aryo Menak berjalan semakin mendekat. Matanya berbinar saat ia melihat pakaian berserakan di tepi telaga.
"Aku akan menyembunyikan selembar baju itu," bisik Aryo Menak. Lalu ia menyambar selembar pakaian dan menyembunyikannya di tempat aman.
Tak lama kemudian, terdengar suar ribut di telaga. Para bidadari itu kembali terbang ke kayangan. Namun, seorang bidadari cantik tetap berendam di telaga. Wajahnya tampak sedih.
Aryo Menak mendekat ke tepi telaga. Ia menyapa dengan lembut,"wahai bidadari kenapa kau bersedih hati?"
Paras bidadari itu berubah merah. Kemudian, ia menuturkan kesedihannya, "Pakaianku hilang sehingga aku tak bisa kembali ke kayangan."
Aryo Menak menatap paras cantik bidadari itu. Lalu ia menghiburnya,"Mungkin dewata menghendaki kau harus hidup di bumi. Maukah kau tinggal di rumahku?"
Dewi Tunjung Wulan, bidadari yang cantik itu, tak punya pilihan lain. Akhirnya, ia menerima kebaikan hati Aryo Menak dan bersedia mengikuti kemauan Aryo Menak. Lebih daripada itu ia bahkan bersedia menjadi istri laki-laki itu.
Tak lama kemudian, Aryo Menak dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang kelak akan menurunkan raja-raja Madura.
Sejak menikah dengan Tunjung Wulan, hidup Aryo Menak menjadi bertambah makmur. Sawahnya berhektar-hektar dan hasil panennya selalu memuaskan.
Sementara itu, isi lumbung padi Aryo Menak seakan tak pernah berkurang sedikit pun.
"Aneh sekali," pikir laki-laki itu. "Padahal aku dan keluargaku selalu makan nasi, tetapi padi dalam lumbung rasanya tidak berkurang. Lagipula seingatku, istriku juga tak pernah menumbuk padi. Apakah dia seorang bidadari?"
Lama-lama Aryo Menak menjadi penasaran sendiri. Ia ingin tahu mengapa semua itu bisa terjadi.
Suatu pagi, istri Aryo Menak pamit, "Kak, aku akan pergi ke sungai. Selama aku pergi jangan sekali-laki engkau ke dapur, sebab aku sedang menanak nasi."
"Baik, Dik," jawab Aryo Menak. Tunjung Wulan pun berangkat ke sungai. Sementara itu, diam-diam Aryo Menak mempunyai pikiran lain. Ketika bayangan istrinya susah tak tampak, bergegas ia pergi ke dapur. Lalu, dibukanya tutup periuk tempat menanak nasi.
"Astaga!" seru Aryo Menak terkejut, ketika dilihatnya hanya sebutir padi dalam periuk itu. "Hm, aku mengerti sekarang. Rupanya istriku hanya membutuhkan sebutir padi untuk menghasilkan seperiuk nasi. Pantas padiku tak pernah berkurang. Pantas pula ia juga tidak pernah kelihatan menumbuk padi. Namun, mengapa Tunjung Wulan harus merahasiakan semua ini?"
Aryo Menak tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, ia lalu bergegas keluar meninggalkan dapur.
Tak lama kemudian, Tunjung Wulan pulang. Rambutnya yang basah semakin mempercantik wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menuju dapur. Tunjung Wulan membuka tutup periuk! Betapa kaget dan sedihnya dia melihat padi dalam periuk itu belum berubah menjadi nasi. Padahal biasanya tidak demikian. Wanita itu segera memahami apa yang telah terjadi.
"Pasti suamiku telah melanggar pantangan yang kuberikan," ucapnya sedih. "Itu berarti, sejak saat ini aku harus bekerja keras. Aku harus menumbuk padi sebelum menanak nasi. Aku juga tidak bisa menghasilkan seperiuk nasi hanya dari sebutir padi. Berarti lumbung itu akan menjadi cepat berkurang isinya.
"Oh, musim panen masih lama. Padi dalam lumbung ini sudah hampir habis," keluh Tunjung Wulan suatu pagi. Tengah ia mengaduk-ngaduk isi lumbung itu, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang menyembul di antara onggokan padi.
"Sepertinya itu ujung kain selendangku," desah Tunjung Wulan. Ia segera menarik ujung kain itu. Benar! Ternyata, benda itu adalah selendangnya.
"Mungkin, pakaian bidadariku pun disimpan di dalam lumbung ini," pikirnya lagi. Lalu, terus dicarinya pakaian bidadarinya. Ternyata pakaian itu memang ada di situ.
"Hm, jadi Aryo Menak yang mencuri pakaianku," gumam Tunjung Wulan. Ia lalu memandang ke angkasa sambil berkata," Terima kasih, Dewa. Kini, hamba bisa kembali ke kayangan lagi."
Tunjung Wulan bergegas mengenakan pakaian bidadarinya. Ia tampak amat cantik. Kemudian, ia pergi menemui Aryo Menak. Ia berkata gembira,"Kak, pakaian bidadariku sudah kutemukan. Kini, aku akan kembali ke Kayangan."
Aryo Menak sangat terkejut. Lalu ia memohon," Jangan pergi, Dewi! Jangan tinggalkan aku dan anakmu!"
"Sayang sekali, aku harus pergi, Kak. Asuhlah putra kita baik-baik. Kalau kau rindu padaku, pandanglah bulan. Aku akan menghiburmu dari sana," tutur Tunjung Wulan. Lalu, ia terbang ke Kayangan.
Aryo Menak menangis sedih. Ia menyesali segala perbuatannya. Andai dulu ia bisa menahan diri. pasti istrinya yang tercinta tidak akan pergi meninggalkannya.
Kesimpulan
Cerita ini disebut dongeng, karena cerita ini tak punya bukti jelas dan hanya dituturkan dari mulut ke mulut.
Dongeng ini serupa dengan dongeng Jaka Tarub yang amat terkenal di wilayah Jawa Timur. Bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, sehingga jumlah dongeng-dongeng kita amat banyak, walaupun beberapa diantaranya terkadang inti ceritanya hampir sama.
Hikmah dari dongeng ini; Bahwa janji itu sebaiknya selalu ditepati, sebab janji adalah cermin dari kepribadian kita. Kita tak akan dipercaya orang kalau kita selalu ingkar janji. Kita mungkin juga akan mengalami akibat yang tidak menyenangkan karena mengingkari janji kita sendiri.
Malam itu bulan purnama. Bulan tampak bundar di langit. Aryo Menak berjalan menyusuri hutan sembari tak bosan-bosannya memandangi kecantikan bulan.
"Hm, malam ini sangat indah,' desah Aryo Menak. Tiba-tiba ia mendengar sayup-sayup suara perempuan. Ia merasa tertarik. Lalu, ia berjalan mencari asal suara itu.
Aryo Menak tiba di sebuah telaga. Air telaga sangat jernih. Bayangan bulan tampak bermain-main di permukaan air telaga. Sementara itu, suara-suara perempuan itu terdengar semakin ramai.
Aryo Menak berjalan mengendap-ngendap. Kemudia, ia bersembunyi di balik sebatang pohon besar dan mengintip. Ohoo, ternyata ada beberapa bidadari cantik sedang mandi di telaga! Mereka tak tahu kalau Aryo Menak ada di situ. Mereka tetap asyik mandi sambil bercanda gembira.
Tanpa sadar Aryo Menak berjalan semakin mendekat. Matanya berbinar saat ia melihat pakaian berserakan di tepi telaga.
"Aku akan menyembunyikan selembar baju itu," bisik Aryo Menak. Lalu ia menyambar selembar pakaian dan menyembunyikannya di tempat aman.
Tak lama kemudian, terdengar suar ribut di telaga. Para bidadari itu kembali terbang ke kayangan. Namun, seorang bidadari cantik tetap berendam di telaga. Wajahnya tampak sedih.
Aryo Menak mendekat ke tepi telaga. Ia menyapa dengan lembut,"wahai bidadari kenapa kau bersedih hati?"
Paras bidadari itu berubah merah. Kemudian, ia menuturkan kesedihannya, "Pakaianku hilang sehingga aku tak bisa kembali ke kayangan."
Aryo Menak menatap paras cantik bidadari itu. Lalu ia menghiburnya,"Mungkin dewata menghendaki kau harus hidup di bumi. Maukah kau tinggal di rumahku?"
Dewi Tunjung Wulan, bidadari yang cantik itu, tak punya pilihan lain. Akhirnya, ia menerima kebaikan hati Aryo Menak dan bersedia mengikuti kemauan Aryo Menak. Lebih daripada itu ia bahkan bersedia menjadi istri laki-laki itu.
Tak lama kemudian, Aryo Menak dikaruniai seorang anak laki-laki. Anak laki-laki inilah yang kelak akan menurunkan raja-raja Madura.
Sejak menikah dengan Tunjung Wulan, hidup Aryo Menak menjadi bertambah makmur. Sawahnya berhektar-hektar dan hasil panennya selalu memuaskan.
Sementara itu, isi lumbung padi Aryo Menak seakan tak pernah berkurang sedikit pun.
"Aneh sekali," pikir laki-laki itu. "Padahal aku dan keluargaku selalu makan nasi, tetapi padi dalam lumbung rasanya tidak berkurang. Lagipula seingatku, istriku juga tak pernah menumbuk padi. Apakah dia seorang bidadari?"
Lama-lama Aryo Menak menjadi penasaran sendiri. Ia ingin tahu mengapa semua itu bisa terjadi.
Suatu pagi, istri Aryo Menak pamit, "Kak, aku akan pergi ke sungai. Selama aku pergi jangan sekali-laki engkau ke dapur, sebab aku sedang menanak nasi."
"Baik, Dik," jawab Aryo Menak. Tunjung Wulan pun berangkat ke sungai. Sementara itu, diam-diam Aryo Menak mempunyai pikiran lain. Ketika bayangan istrinya susah tak tampak, bergegas ia pergi ke dapur. Lalu, dibukanya tutup periuk tempat menanak nasi.
"Astaga!" seru Aryo Menak terkejut, ketika dilihatnya hanya sebutir padi dalam periuk itu. "Hm, aku mengerti sekarang. Rupanya istriku hanya membutuhkan sebutir padi untuk menghasilkan seperiuk nasi. Pantas padiku tak pernah berkurang. Pantas pula ia juga tidak pernah kelihatan menumbuk padi. Namun, mengapa Tunjung Wulan harus merahasiakan semua ini?"
Aryo Menak tak bisa menjawab pertanyaannya sendiri, ia lalu bergegas keluar meninggalkan dapur.
Tak lama kemudian, Tunjung Wulan pulang. Rambutnya yang basah semakin mempercantik wajahnya. Dengan tergesa-gesa ia menuju dapur. Tunjung Wulan membuka tutup periuk! Betapa kaget dan sedihnya dia melihat padi dalam periuk itu belum berubah menjadi nasi. Padahal biasanya tidak demikian. Wanita itu segera memahami apa yang telah terjadi.
"Pasti suamiku telah melanggar pantangan yang kuberikan," ucapnya sedih. "Itu berarti, sejak saat ini aku harus bekerja keras. Aku harus menumbuk padi sebelum menanak nasi. Aku juga tidak bisa menghasilkan seperiuk nasi hanya dari sebutir padi. Berarti lumbung itu akan menjadi cepat berkurang isinya.
"Oh, musim panen masih lama. Padi dalam lumbung ini sudah hampir habis," keluh Tunjung Wulan suatu pagi. Tengah ia mengaduk-ngaduk isi lumbung itu, tiba-tiba matanya melihat sesuatu yang menyembul di antara onggokan padi.
"Sepertinya itu ujung kain selendangku," desah Tunjung Wulan. Ia segera menarik ujung kain itu. Benar! Ternyata, benda itu adalah selendangnya.
"Mungkin, pakaian bidadariku pun disimpan di dalam lumbung ini," pikirnya lagi. Lalu, terus dicarinya pakaian bidadarinya. Ternyata pakaian itu memang ada di situ.
"Hm, jadi Aryo Menak yang mencuri pakaianku," gumam Tunjung Wulan. Ia lalu memandang ke angkasa sambil berkata," Terima kasih, Dewa. Kini, hamba bisa kembali ke kayangan lagi."
Tunjung Wulan bergegas mengenakan pakaian bidadarinya. Ia tampak amat cantik. Kemudian, ia pergi menemui Aryo Menak. Ia berkata gembira,"Kak, pakaian bidadariku sudah kutemukan. Kini, aku akan kembali ke Kayangan."
Aryo Menak sangat terkejut. Lalu ia memohon," Jangan pergi, Dewi! Jangan tinggalkan aku dan anakmu!"
"Sayang sekali, aku harus pergi, Kak. Asuhlah putra kita baik-baik. Kalau kau rindu padaku, pandanglah bulan. Aku akan menghiburmu dari sana," tutur Tunjung Wulan. Lalu, ia terbang ke Kayangan.
Aryo Menak menangis sedih. Ia menyesali segala perbuatannya. Andai dulu ia bisa menahan diri. pasti istrinya yang tercinta tidak akan pergi meninggalkannya.
Kesimpulan
Cerita ini disebut dongeng, karena cerita ini tak punya bukti jelas dan hanya dituturkan dari mulut ke mulut.
Dongeng ini serupa dengan dongeng Jaka Tarub yang amat terkenal di wilayah Jawa Timur. Bangsa Indonesia memang terdiri dari berbagai suku, sehingga jumlah dongeng-dongeng kita amat banyak, walaupun beberapa diantaranya terkadang inti ceritanya hampir sama.
Hikmah dari dongeng ini; Bahwa janji itu sebaiknya selalu ditepati, sebab janji adalah cermin dari kepribadian kita. Kita tak akan dipercaya orang kalau kita selalu ingkar janji. Kita mungkin juga akan mengalami akibat yang tidak menyenangkan karena mengingkari janji kita sendiri.
Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur
Oleh: Dwianto Setyawan
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997