Jaka Tole Anak Berbakti
Dahulu kala di Pulau Madura hiduplah seorang anak laki-laki yang istimewa. Jaka Tole namanya. Ia baik hati dan tidak sombong. Selain itu, ia mempunyai kekuatan yang melebihi bocah seusianya.
Jaka Tole sebenarnya anak seorang raja. Sementara orang tuanya pergi bertapa ia dititipkan kepada seorang pandai besi terkenal yang bernama Empu Keleng. Empu Keleng tinggal di Kabupaten Sumenep.
Meskipun bukan orang tuanya Jaka Tole sangat hormat dan menghargai Empu Keleng dan istrinya. Ini juga merupakan sifat Jaka Tole yang patut dipuji.
Sehari-hari Empu Keleng membuat pisau, kapak sabit, mata cangkul dan alat-alat pertanian. Benda-benda buatan Empu Keleng terkenal sangat baik mutunya. Tak heran kalau ia mempunyai banyak pelanggan.
Jaka Tole senang sekali melihat cara Empu Keleng bekerja. Suatu hari ia berkata," Empu Keleng, ajarilah aku membuat benda-benda itu. Aku ingin sekali membantumu."
"Kau masih terlalu kecil, Jaka Tole. Suatu saat nanti aku pasti akan mengajarimu," Empu Keleng menolak halus.
Jaka Tole tak berani memaksa, namun, keinginannya untuk belajar membuat benda-benda itu tak pernah surut.
Suatu Jum'at siang, Empu Keleng dan para pembantunya pergi bersembahyang ke mesjid. Jaka Tole bergegas ke bengkel tempat Empu Keleng biasa bekerja. Ia menyalakan api. Lalu ia memasukkan potongan-potongan besi ke dalam bara api.
Beberapa saat kemudian, Jaka Tole mengambil potongan-potongan besi dari dalam nyala api. Lalu ia mencari-cari perkakas yang biasa dipakai Empu Keleng untuk menempa potongan besi itu.
Namun, alat itu tak ditemukannya. Empu Keleng menyimpan perkakas itu di tempat lain.
"Oh, bagaimana ini?" desah Jaka Tole kebingungan.
Akan tetapi, Jaka Tole tak mudah menyerah. Lalu, ia menggunakan kepalan tangannya untuk memukul-mukul besi itu. Lututnya dipakai sebagai tempat untuk menempa.
Sungguh ajaib! Berkat kepalan tangannya, besi yang berpijar itu cepat sekali berubah menjadi pipih. Lalu dengan mudah Jaka Tole membentuk besi pipih itu menjadi sebuah sabit atau benda-benda lain yang disukainya. Yang istimewa, sabit, pisau, dan mata cangkul yang dibuat Jaka Tole jauh lebih bagus daripada buatan Empu Keleng.
Empu Keleng terheran-heran ketika melihat buah karya Jaka Tole.
"Kau memang anak istimewa, Jaka Tole," puji Empu Keleng bangga.
Kehebatan Jaka Tole itu segera menyebar ke mana-mana. Bengkel Empu Keleng menjadi sangat ramai. Orang-orang berbondong-bondong ke bengkel itu untuk memesan pelbagai perkakas pertanian buatan tangan Jaka Tole.
Sementara itu, Raja Brawijaya di Kerajaan Majapahit punya rencana besar. Ia ingin membuat sebuat pintu gerbang istana yang kokoh di ibu kerajaan.
"Kumpulkan semua pandai besi ternama di Kerajaan ini. Perintahkan kepada mereka untuk membuat sebuah pintu gerbang yang besar dan kokoh," titah Raja Brawijaya.
"Baik, Paduka, sahut Patih. Ia segera menjalankan perintah Raja. Semua pandai besi ternama yang ada di Pulau Jawa dan Madura didatangkan ke istana.
Empu Keleng adalah salah satu pandai besi yang dipanggil Raja. Sebelum berangkat ke Majapahit, Empu Keleng berpesan pada istrinya.
"Jaga Jaka Tole hati-hati, Nyai.
"Baik Empu," sahut istri Empu Keleng.
Ternyata, membuat pintu yang diinginkan raja tidak mudah. Semua pandai besi sudah mengerahkan keahliannya. Akan tetapi, sampai beberapa bulan kemudian gerbang itu belum jadi juga.
Di desa, Istri Empu Keleng dan Jaka Tole sangat gelisah. Mereka cemas memikirkan Empu Keleng.
"Kenapa lama sekali Empu Keleng pergi ya, Nyai?" tanya Jaka Tole suatu sore.
"Entahlah. Mungkin pembuatan pintu gerbang itu belum selesai," jawab istri Empu Keleng.
"Izinkan saya menyusul Empu Keleng, Nyai," rengek Jaka Tole.
Istri Empu Keleng melarang Jaka Tole. Ia teringat janjinya kepada Empu Keleng. Ia akan menjaga Jaka Tole baik-baik. Akan tetapi, Jaka Tole terus merengek dan membujuk. Akhirnya, istri Empu Keleng memberinya izin meskipun dengan berat hati.
Esok paginya, Jaka Tole berangkat ke Kota. Ia berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi lautan. Setelah lama berjalan, ia merasa lelah. Lalu, ia beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Mau ke mana kau, Jaka Tole ?" sapa seorang kakek.
Jaka Tole amat terkejut, karena kakek itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Saya hendak pergi menyusul Empu Keleng, ayat angkat saya," sahut Jaka Tole.
"Kau memang anak yang berbakti, Jaka Tole. Aku akan menceritakan siapa sebenarnya dirimu," tutur kakek itu sembari tersenyum. "Kau adalah putra seorang Raja. Kedua orang tuamu kini sedang bertapa. Itulah sebabnya kau dititipkan pada Empu Keleng."
"Oh begitu, akan tetapi, tahukah kakek kenapa Empu Keleng tak ada kabar beritanya sampai sekarang?" tanya Jaka Tole.
"Empu Keleng dan teman-temannya sedang dalam kesulitan. Mereka belum bisa mendirikan pintu gerbang itu. Karena mereka tak punya pematri untuk menghubungkan bagian-bagian dari pintu itu," tutur kakek itu.
"Kalau begitu saya harus cepat ke sana. Mungkin, saya bisa menolong Empu Keleng," jawab Jaka Tole cepat.
"Tunggu, Jaka Tole, cegah kakek itu. Lalu ia mengeluarkan sekuntum bunga dari saku jubahnya. "Makan dulu bunga ini. Suatu saat nanti kau akan mampu mengeluarkan alat pematri untuk menyelesaikan pintu gerbang itu."
"Terima kasih, Kek," ucap Jaka Tole. Ia segera mengunyah bunga itu. Lalu ia pamit untuk meneruskan perjalanan.
Setibanya di kerajaan, Jaka Tole langsung mencari Empu Keleng. Ia menemukan ayat angkatnya itu di barak, tempat tinggal para pandai besi. Empu Keleng nampak kurus dan pucat, karena ia terlalu letih bekerja.
"Kenapa kau menyusul ke sini, Jaka Tole?" tegur Empu Keleng.
"Saya khawatir memikirkan kesehatan Empu. Setiap hari saya dan Nyai menunggu-nunggu berita dari Empu. Akan tetapi, sampai saat ini kami tak pernah mengetahuinya. Jadi saya bertekad menyusul Empu ke sini," jelas Jaka Tole.
Betapa terharu hati Empu Keleng. Jaka Tole memang anak yang berbakti. Ia tetap mencintai Empu Keleng meskipun kini ia telah tahu bahwa laki-laki tua itu adalah ayah angkatnya.
Sementara itu, di balai persidangan istana, patih kerajaan sedang melaporkan perkembangan pembuatan pintu gerbang kepada Raja.
"Apa yang menyebabkan kalian bekerja terlalu lama?" tanya Raja.
"Bagian-bagian pintu gerbang itu telah selesai, Paduka. Namun, para pandai besi itu tak bisa mendirikannya, karena mereka tak punya alat pematri untuk menghubungkan bagian-bagian itu," jelas Patih.
"Aku tak mau terima alasan itu. Pokoknya aku ingin pintu gerbang itu selesai dalam beberapa hari ini," sahut Sang Raja.
Sang Patih sangat kebingungan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba, Jaka Tole datang menghadap.
"Hamba sanggup menyelesaikan pintu gerbang itu, Patih," ujar Jaka Tole dengan suara mantap.
"Benarkah?" tanya Patih ragu-ragu. Lalu Patih berkata dalam hati, "Mungkinkah anak sekecil ini bisa merampungkan pintu gerbang itu, sedangkan sejumlah pandai besi tak berdaya membuatnya?"
"Hamba akan membuktikannya, Patih," sahut Jaka Tole.
"Baik, kau kuberi kesempatan untuk mencoba," tutur Patih.
Jaka Tole diantar ke tempat pintu gerbang dibuat. Empu Keleng melihatnya dengan cemas.
"Tenang Empu. Aku pasti bisa mengerjakannya," bisik Jaka Tole pada Empu Keleng. Lalu, Jaka Tole mengheningkan cipta sejenak. Tiba-tiba sebuah alat pemati yang berwarna putih keperak-perakan muncul dari genggaman tangannya. Jaka Tole segera menghubungkan bagian-bagian pintu gerbang itu dengan alat pematrinya.
Tak lama, pintu gerbang itu pun jadilah. Orang-orang bersorak-sorai menyaksikan keberhasilan Jaka Tole. Patih dan Empu Keleng merasa amat lega. Tugas dari Raja kini berhasil mereka laksanakan.
"Mari kita pasang pintu gerbang ini di tempatnya," ajak Patih gembira.
Uft! Ternyata, pintu gerbang itu amat berat. Jangankan memasangnya. Menegakkan pintu gerbang itu saja, orang-orang tak mampu. Jaka Tole segera bertindak. Dengan mudah ia menegakkan pintu gerbang itu. Lalu, memasang pintu gerbang itu dengan rapi di tempatnya.
Sekali lagi orang-orang bersorak-sorai. Mereka tak henti-hentinya mengelu-elukan kehebatan Jaka Tole.
"Kau benar-benar anak yang hebat, Jaka Tole. Terimalah emas dan perak ini sebagai hadiah dariku," tutur Raja.
"Terima kasih, Paduka," jawab Jaka Tole. Ia pun segera berpamitan pada Raja. Jaka Tole dan Empu Keleng pulang ke desa. Ia memberikan hadiah dari Raja itu kepada Empu Keleng dan istrinya.
Setelah dewasa Jaka Tole berkumpul kembali dengan orang tua kandungnya. Ia menjadi raja di Kerajaan Sumenep dan bergelar Arya Kudanapole. Meskipun sudah menjadi raja, ia tak melupakan Empu Keleng dan istrinya.
Kesimpulan
Jaka Tole senang sekali melihat cara Empu Keleng bekerja. Suatu hari ia berkata," Empu Keleng, ajarilah aku membuat benda-benda itu. Aku ingin sekali membantumu."
"Kau masih terlalu kecil, Jaka Tole. Suatu saat nanti aku pasti akan mengajarimu," Empu Keleng menolak halus.
Jaka Tole tak berani memaksa, namun, keinginannya untuk belajar membuat benda-benda itu tak pernah surut.
Suatu Jum'at siang, Empu Keleng dan para pembantunya pergi bersembahyang ke mesjid. Jaka Tole bergegas ke bengkel tempat Empu Keleng biasa bekerja. Ia menyalakan api. Lalu ia memasukkan potongan-potongan besi ke dalam bara api.
Beberapa saat kemudian, Jaka Tole mengambil potongan-potongan besi dari dalam nyala api. Lalu ia mencari-cari perkakas yang biasa dipakai Empu Keleng untuk menempa potongan besi itu.
Namun, alat itu tak ditemukannya. Empu Keleng menyimpan perkakas itu di tempat lain.
"Oh, bagaimana ini?" desah Jaka Tole kebingungan.
Akan tetapi, Jaka Tole tak mudah menyerah. Lalu, ia menggunakan kepalan tangannya untuk memukul-mukul besi itu. Lututnya dipakai sebagai tempat untuk menempa.
Sungguh ajaib! Berkat kepalan tangannya, besi yang berpijar itu cepat sekali berubah menjadi pipih. Lalu dengan mudah Jaka Tole membentuk besi pipih itu menjadi sebuah sabit atau benda-benda lain yang disukainya. Yang istimewa, sabit, pisau, dan mata cangkul yang dibuat Jaka Tole jauh lebih bagus daripada buatan Empu Keleng.
Empu Keleng terheran-heran ketika melihat buah karya Jaka Tole.
"Kau memang anak istimewa, Jaka Tole," puji Empu Keleng bangga.
Kehebatan Jaka Tole itu segera menyebar ke mana-mana. Bengkel Empu Keleng menjadi sangat ramai. Orang-orang berbondong-bondong ke bengkel itu untuk memesan pelbagai perkakas pertanian buatan tangan Jaka Tole.
Sementara itu, Raja Brawijaya di Kerajaan Majapahit punya rencana besar. Ia ingin membuat sebuat pintu gerbang istana yang kokoh di ibu kerajaan.
"Kumpulkan semua pandai besi ternama di Kerajaan ini. Perintahkan kepada mereka untuk membuat sebuah pintu gerbang yang besar dan kokoh," titah Raja Brawijaya.
"Baik, Paduka, sahut Patih. Ia segera menjalankan perintah Raja. Semua pandai besi ternama yang ada di Pulau Jawa dan Madura didatangkan ke istana.
Empu Keleng adalah salah satu pandai besi yang dipanggil Raja. Sebelum berangkat ke Majapahit, Empu Keleng berpesan pada istrinya.
"Jaga Jaka Tole hati-hati, Nyai.
"Baik Empu," sahut istri Empu Keleng.
Ternyata, membuat pintu yang diinginkan raja tidak mudah. Semua pandai besi sudah mengerahkan keahliannya. Akan tetapi, sampai beberapa bulan kemudian gerbang itu belum jadi juga.
Di desa, Istri Empu Keleng dan Jaka Tole sangat gelisah. Mereka cemas memikirkan Empu Keleng.
"Kenapa lama sekali Empu Keleng pergi ya, Nyai?" tanya Jaka Tole suatu sore.
"Entahlah. Mungkin pembuatan pintu gerbang itu belum selesai," jawab istri Empu Keleng.
"Izinkan saya menyusul Empu Keleng, Nyai," rengek Jaka Tole.
Istri Empu Keleng melarang Jaka Tole. Ia teringat janjinya kepada Empu Keleng. Ia akan menjaga Jaka Tole baik-baik. Akan tetapi, Jaka Tole terus merengek dan membujuk. Akhirnya, istri Empu Keleng memberinya izin meskipun dengan berat hati.
Esok paginya, Jaka Tole berangkat ke Kota. Ia berjalan menyusuri hutan dan menyeberangi lautan. Setelah lama berjalan, ia merasa lelah. Lalu, ia beristirahat di bawah sebatang pohon yang rindang.
"Mau ke mana kau, Jaka Tole ?" sapa seorang kakek.
Jaka Tole amat terkejut, karena kakek itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Saya hendak pergi menyusul Empu Keleng, ayat angkat saya," sahut Jaka Tole.
"Kau memang anak yang berbakti, Jaka Tole. Aku akan menceritakan siapa sebenarnya dirimu," tutur kakek itu sembari tersenyum. "Kau adalah putra seorang Raja. Kedua orang tuamu kini sedang bertapa. Itulah sebabnya kau dititipkan pada Empu Keleng."
"Oh begitu, akan tetapi, tahukah kakek kenapa Empu Keleng tak ada kabar beritanya sampai sekarang?" tanya Jaka Tole.
"Empu Keleng dan teman-temannya sedang dalam kesulitan. Mereka belum bisa mendirikan pintu gerbang itu. Karena mereka tak punya pematri untuk menghubungkan bagian-bagian dari pintu itu," tutur kakek itu.
"Kalau begitu saya harus cepat ke sana. Mungkin, saya bisa menolong Empu Keleng," jawab Jaka Tole cepat.
"Tunggu, Jaka Tole, cegah kakek itu. Lalu ia mengeluarkan sekuntum bunga dari saku jubahnya. "Makan dulu bunga ini. Suatu saat nanti kau akan mampu mengeluarkan alat pematri untuk menyelesaikan pintu gerbang itu."
"Terima kasih, Kek," ucap Jaka Tole. Ia segera mengunyah bunga itu. Lalu ia pamit untuk meneruskan perjalanan.
Setibanya di kerajaan, Jaka Tole langsung mencari Empu Keleng. Ia menemukan ayat angkatnya itu di barak, tempat tinggal para pandai besi. Empu Keleng nampak kurus dan pucat, karena ia terlalu letih bekerja.
"Kenapa kau menyusul ke sini, Jaka Tole?" tegur Empu Keleng.
"Saya khawatir memikirkan kesehatan Empu. Setiap hari saya dan Nyai menunggu-nunggu berita dari Empu. Akan tetapi, sampai saat ini kami tak pernah mengetahuinya. Jadi saya bertekad menyusul Empu ke sini," jelas Jaka Tole.
Betapa terharu hati Empu Keleng. Jaka Tole memang anak yang berbakti. Ia tetap mencintai Empu Keleng meskipun kini ia telah tahu bahwa laki-laki tua itu adalah ayah angkatnya.
Sementara itu, di balai persidangan istana, patih kerajaan sedang melaporkan perkembangan pembuatan pintu gerbang kepada Raja.
"Apa yang menyebabkan kalian bekerja terlalu lama?" tanya Raja.
"Bagian-bagian pintu gerbang itu telah selesai, Paduka. Namun, para pandai besi itu tak bisa mendirikannya, karena mereka tak punya alat pematri untuk menghubungkan bagian-bagian itu," jelas Patih.
"Aku tak mau terima alasan itu. Pokoknya aku ingin pintu gerbang itu selesai dalam beberapa hari ini," sahut Sang Raja.
Sang Patih sangat kebingungan. Ia tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba, Jaka Tole datang menghadap.
"Hamba sanggup menyelesaikan pintu gerbang itu, Patih," ujar Jaka Tole dengan suara mantap.
"Benarkah?" tanya Patih ragu-ragu. Lalu Patih berkata dalam hati, "Mungkinkah anak sekecil ini bisa merampungkan pintu gerbang itu, sedangkan sejumlah pandai besi tak berdaya membuatnya?"
"Hamba akan membuktikannya, Patih," sahut Jaka Tole.
"Baik, kau kuberi kesempatan untuk mencoba," tutur Patih.
Jaka Tole diantar ke tempat pintu gerbang dibuat. Empu Keleng melihatnya dengan cemas.
"Tenang Empu. Aku pasti bisa mengerjakannya," bisik Jaka Tole pada Empu Keleng. Lalu, Jaka Tole mengheningkan cipta sejenak. Tiba-tiba sebuah alat pemati yang berwarna putih keperak-perakan muncul dari genggaman tangannya. Jaka Tole segera menghubungkan bagian-bagian pintu gerbang itu dengan alat pematrinya.
Tak lama, pintu gerbang itu pun jadilah. Orang-orang bersorak-sorai menyaksikan keberhasilan Jaka Tole. Patih dan Empu Keleng merasa amat lega. Tugas dari Raja kini berhasil mereka laksanakan.
"Mari kita pasang pintu gerbang ini di tempatnya," ajak Patih gembira.
Uft! Ternyata, pintu gerbang itu amat berat. Jangankan memasangnya. Menegakkan pintu gerbang itu saja, orang-orang tak mampu. Jaka Tole segera bertindak. Dengan mudah ia menegakkan pintu gerbang itu. Lalu, memasang pintu gerbang itu dengan rapi di tempatnya.
Sekali lagi orang-orang bersorak-sorai. Mereka tak henti-hentinya mengelu-elukan kehebatan Jaka Tole.
"Kau benar-benar anak yang hebat, Jaka Tole. Terimalah emas dan perak ini sebagai hadiah dariku," tutur Raja.
"Terima kasih, Paduka," jawab Jaka Tole. Ia pun segera berpamitan pada Raja. Jaka Tole dan Empu Keleng pulang ke desa. Ia memberikan hadiah dari Raja itu kepada Empu Keleng dan istrinya.
Setelah dewasa Jaka Tole berkumpul kembali dengan orang tua kandungnya. Ia menjadi raja di Kerajaan Sumenep dan bergelar Arya Kudanapole. Meskipun sudah menjadi raja, ia tak melupakan Empu Keleng dan istrinya.
Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda. Nama Jaka Tole alias Arya Kudanapole terdapat dalam silsilah raja-raja Sumenep. Kita bisa mencari namanya dalam buku-buku sejarah.
Dari legenda ini kita bisa meneladani sifat Jaka Tole. Tentu, kita tak bisa sehebat dan sesakti Jaka Tole. Akan tetapi, kita bisa mencintai dan menghormati orang tua kita seperti yang dilakukan Jaka Tole.
Dari legenda ini kita bisa meneladani sifat Jaka Tole. Tentu, kita tak bisa sehebat dan sesakti Jaka Tole. Akan tetapi, kita bisa mencintai dan menghormati orang tua kita seperti yang dilakukan Jaka Tole.
Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur
Oleh: Dwianto Setyawan
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997