Kesongo

kesongo
Di sebelah selatan kota Blora, di sebelah barat kota Cepu, terdapat sebuah desa bernama desa Kesongo. Dahulu desa itu belum ada. Asal mula terjadinya desa Kesongo adalah sebagai berikut:
Pada mulanya, tempat itu merupakan tanah lapang berumput subur, di mana para gembala dari kampung menggembalakan ternaknya di situ. Di pinggir lapangan ada perbukitan yang tidak begitu tinggi. Pada bukit itu terdapat goa-goa yang kadang-kadang digunakan sebagai tempat berteduh para gembala di waktu panas terik maupun di waktu hujan.

Demikian menurut cerita, sore itu langit cerah tidak ada tanda-tanda hari akan hujan, seperti biasa para gembala mengembalakan ternaknya di tanah lapang. Ramai mereka bersenda gurau, bercanda ria saling berkejaran. Sementara ternaknya tenang merumput.

Di antara para gembala yang asyik bergembira itu, ada satu orang terlihat menyendiri. Memang gembala yang satu ini sengaja dikucilkan oleh teman-temannya karena badannya yang penuh koreng itu mengeluarkan bau tidak sedap.

Keriangan para gembala itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba mendung menggayut di langit, disusul hujan deras seperti dicurahkan dari langit. Para gembala berlarian mencari tempat berteduh. Di sebuah goa yang agak lebar berteduh sepuluh gembala. Salah satu dari sepuluh gembala itu adalah gembala yang badannya penuh kurap.

Pada mulanya mereka tidak ada reaksi apa-apa. Baru kemudian ada yang berkata, "Bau apakah ini?" Lalu disambung oleh teman yang lain "Bau kurap busuk." Mereka tertawa semakin berani. Bukan saja berkata dengan mulut, tetapi juga menyakiti tubuh si Kurap. Tangan mereka usil, melempar kerikil, batu-batu kecil, bahkan memukul kepala. Dan puncaknya si Kurap didorong keluar goa hingga jatuh terjerambab. Sementara si Kurap menangis, mereka tertawa-tawa penuh kemenangan.

Hujan masih berlangsung walaupun tidak sederas tadi. Langit mulai memutih. Hujan yang demikian biasanya lama berhenti. Si Kurap tidak mendapat tempat untuk berteduh. Ia kehujanan di luar goa. Ia kedinginan. Giginya gemeletuk, badannya gemetar, lututnya beradu. Tetes demi tetes air hujan seakan menghujam lukanya, sehingga terasa perih. Namun, yang terasa lebih perih adalah hatinya. Ia memohon ampun kepada Tuhan dan mohon kesembuhan. Sementara yang di dalam goa tertawa riang penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba terdengar suara gemuruh. Bumi seakan bergoncang. Goa tempat para runtuh. Sebentar terdengar jeritan yang menyayat hati. Lalu sepi. Tanah perbukitan itu longsor dan sembilan gembala tertimpa tanah longsor.

Kejadian yang tiba-tiba itu membuat gembala yang penuh kurap menjadi terpana. Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Ketika sadar apa yang terjadi, segera ia lari pulang memberitahukan kejadian itu kepada penduduk desa. Berbondong-bondong penduduk desa datang menolong, namun tak ada yang dapat dilakukan karena kesembilan gembala itu seolah-olah lenyap ditelan bumi.

Sejak kejadian itu, tempat tersebut diberi nama Kesongo, yang artinya kesembilan (songo bahasa jawa berarti sembilan). Sampai sekarang daerah/desa Kesongo masih ada.

Menurut kepercayaan penduduk, goa tempat gembala berteduh tersebut adalah mulut ular naga yang menganga. Naga tersebut sedang bertapa, tidak boleh makan dan tidak boleh minum, sebelum ada benda atau makanan yang jatuh ke mulutnya. Kesembilan gembala itu dianggapnya sebagai mangsa yang jatuh di mulutnya, maka ia segera menutup mulutnya.

Sampai sekarang tidak terjadi lagi bencana tanah longsor, sebab menurut cerita, mulut naga itu sudah dipaku.

Kesimpulan
Jangan menyakiti orang yang sedang menderita, justru sebaliknya kita harus menolong. 

Sumber: Buku Putri Limaran, Cerita Rakyat Dari Jawa Tengah
Penulis: Sri Sulistyowati
Penerbit: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1996
 



Next Post Previous Post