Roro Anteng

Rara Anteng
Waktu kerajaan Majapahit diserang musuh, semua penduduknya pergi mengungsi. Demikian pula dewa-dewa yang pada saat itu turun ke dunia. 

Rakyat Majapahit lalu tinggal di lereng Gunung Bromo, sedangkan para dewata memilih tinggal di lereng gunung Pananjakan yang letaknya jauh dari Gunung Bromo. 

Seorang Dewi menitis menjadi manusia. Sewaktu dilahirkan, bayi perempuan titisan dewi itu berparas cantik. Ia tidak menangis seperti bayi-bayi lainnya, sehingga bayi itu diberi nama "Roro Anteng" atau Rara Anteng. 

Pada saat yang bersamaan, istri seorang pendeta melahirkan bayi laki-laki. Bayi itu amat tampan dan bercahaya wajahnya. Tenaganya sangat luar biasa, genggamannya erat, tendangannya kuat, dan tangisnya kencang. Lalu ia dinamai Jaka Seger. 

Hari demi hari kedua bayi itu menjadi besar. Jaka Seger berubah menjadi seorang pemuda rupawan. Rara anteng menjelma menjadi seorang gadis manis. Karena sering bertemu, kedua remaja itu pun saling menaruh hati. 

 Namun, Rara Anteng yang jelita menjadi rebutan para pemuda. Mereka berlomba-lomba ingin meminangnya. Sayang sekali, cinta Rara Anteng hanya untuk Jaka Seger. Ia pun menolak semua pinangan untuknya. 

Suatu hari, seorang perompak yang sakti datang meminang Rara Anteng. Kali ini Rara Anteng tak berani langsung menolak pinangannya, sebab selain sakti, perompak itu amat bengis. 

"Aku bersedia menjadi istrimu asalkan kau sanggup membuat lautan di tengah-tengah gunung." ujar Rara Anteng dengan lemah lembut. 

"Hahahaha...! Pekerjaan itu amat mudah. Aku sanggup melakukannya untukmu," sahut perompak itu pongah. 

"Jangan bergirang dulu, karena lautan itu harus selesai dalam waktu satu malam saja. Ketika matahari terbenam, kau boleh mulai membuat lautan itu. Esok paginya, sewaktu ayam jantan pertama kali berkokok, lautan itu harus selesai," tutur Rara Anteng menambahkan. 

"Demi dirimu aku akan melakukan permintaanmu itu. Tunggu sampai besok pagi, Rara Anteng. Kau akan menjadi istriku," kata perompak itu. 

Tepat pada saat matahari terbenam, perompak itu mulai bekerja. Ia mengeruk sisi-sisi Gunung Bromo dengan sebuah tempurung kelapa. Semalam suntuk perompak itu bekerja. Berkat kesaktiannya, sebelum ayam jantan berkokok, lautan itu hampir selesai. 

Rara Anteng amat cemas. Ia tidak bisa tidur. Berkali-kali ia mengintip pekerjaan perompak itu. Hatinya semakin gelisah tatkala ia melihat lautan itu hampir jadi. Padahal itu masih dini hari. 

"Duh, apa yang harus kulakukan? Perompak itu benar-benar sakti!" desak Rara Anteng. 

Rara Anteng kemudian bersemadi. Pikirannya menjadi jernih. Tak lama kemudian, ia beranjak menuju lumbung padi. Ia mengambil alu dan mulai menumbuk padi. Ayam jantan pun berkokok. 

"Hei, aneh sekali! Ada ayam jantan berkokok sepagi ini!" gumam penduduk desa itu. Mata mereka masih terasa berat. Hawa dingin pegunungan menusuk sampai ke tulang sumsum. Mereka pun enggan bangun dan terus tidur nyenyak. 

Sementara itu, perompak sakti itupun tersentak ketika mendengar ayam jantan berkokok. 

"Oh, pagi telah menjelang. Ayam jantan sudah berkokok. Sungguh aneh! Kenapa ayam jantan itu berkokok sebelum garis putih muncul di ufuk timur?" pikir perompak itu. 

Perompak itu amat kecewa dan malu. Ia berdesis garang, "Keparat!! Rara Anteng berhasil mengalahkanku!" Lalu, ia melemparkan tempurung kelapa yang dipegangnya dan pergi meninggalkan tempat itu. 

Ajaib! Tempurung yang jatuh tengkurap itu menjelma menjadi sebuah gunung. Gunung itu kemudian dinamai Gunung Batok, sedangkan lautan yang belum berair itu disebut segara Wedi (Lautan Pasir). 

Ketika tahu bahwa perompak itu telah pergi, Rara Anteng bersuka ria. Ia berhasil mengalahkan perompak itu meskipun dengan cara yang licik. Rara Anteng kemudian menikah dengan Jaka Seger. Mereka ingin punya tempat tinggal yang damai. Mereka membabat hutan dan mendirikan sebuah pedesaan. 

Desa itu dinamai Tengger yang merupakan petikan dari nama Rara Anteng dan Jaka Seger. Nama Rara Anteng didahulukan karena ia berderajat lebih tinggi. Ia keturunan dewa sedangkan Jaka Seger keturunan seorang pendeta. 

Kedua orang itu hidup bahagia. Mereka mempunyai banyak keturunan. Sampai kini keturunan Rara Anteng dan Jaka Seger tetap menghuni Dusun Tengger. Mereka disebut Suku Tengger. 

Kesimpulan
Cerita ini termasuk legenda, karena sampai sekarang kita bisa melihat Desa Tengger. Bahkan di upacara Kasada kita bisa melihat Suku Tengger yang merupakan keturunan dari Rara Anteng dan Jaka Seger. Bila ingin mengetahui lebih jauh, pergilah ke Gunung Bromo untuk bisa melihat matahari terbit di Pananjakan dan bisa mengarungi Segara Wedi bikinan perompak sakti itu. Selain itu juga bisa mengunjungi Desa Tengger dan berbincang dengan orang-orang Suku Tenggger. 

Hikmah yang bisa kita petih dari legenda ini: "Jangan berputus asa bila menghadapi kesulitan. Berusahalah terus! Setiap persoalan pasti ada jalan keluarnya." 

Sumber: Buku Ceri Rakyat Dari Jawa Timur 
Oleh: Dwianto Setyawan 
Penerbit PT. Gramedia Widisarana Indonesia, Jakarta 1997
Next Post Previous Post